Minggu, 07 Oktober 2012

Tata Gerak dan Sikap Tubuh dalam Ber-Liturgi

Tata Gerak dan Sikap Tubuh dalam Ber-Liturgi


Apa yang Anda bayangkan ketika menyaksikan atau mengikuti suatu perayaan syukur (Ulang Tahun, misalnya) di mana peserta yang hadir di sana hanya duduk, diam, dengar, lalu pulang? Sebaliknya, bagaimana kalau setiap pesertanya bisa melakukan apa saja semaunya sehingga sebagian bernyanyi, sebagian berteriak, sebagian diam, sebagian lagi makan, dan yang lainnya tidak jelas? Tidakkah perayaan itu akan terasa “garing” (baca: tidak menggairahkan & membosankan), dan “enjel” (baca: enggak jelas)?

Perayaan syukur (ulang tahun) itu akan menjadi hikmat dan “hangat” kalau semua peserta terlibat secara aktif dan kompak. Begitu pula dengan liturgi sebagai suatu perayaan syukur atas misteri keselamatan Allah. Perayaan liturgi akan menjadi hikmat dan “hangat” kalau semua peserta terlibat secara aktif dan seragam dalam sikap tubuh dan tata gerak. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh umat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula (bdk. PUMR 42; SC 30).

Dalam artikel ini akan dibahas tentang makna tanda salib dan berkat, menepuk dada, penumpangan tangan, dan tangan terkatup, terangkat dan terentang, ciuman dan jabatan tangan, pembasuhan tangan.

Tanda Salib dan Berkat

Tanda Salib dalam liturgi merupakan gerakan tangan untuk membuat tanda salib untuk diri sendiri ataupun memberikan berkat kepada orang lain. Tanda Salib dan Berkat dengan tanda salib sungguh-sungguh asli berasal dari tradisi kristiani. Konon Tanda Salib pertama kali dipakai dalam liturgi baptis sekitar abad III. Bahkan ada yang mengatakan sudah sejak zaman Para Rasul, Tanda Salib digunakan baik dalam kegiatan pribadi maupun liturgi. Menurut tradisi liturgi, Tanda Salib pertama-tama mengungkapkan iman dasar kristiani akan salib Kristus yang membawa penebusan dan keselamatan. Tanda salib adalah tanda yang menunjuk kuasa salib Kristus yang menyelamatkan dan tanda perlindungan Kristus terhadap kuasa jahat dan setan. Dalam Perayaan Ekaristi, Tanda Salib cukup dilakukan dua kali, yakni saat mengawali Perayaan Ekaristi (dalam pembukaan ritus pembuka) dan mengakhiri Perayaan Ekaristi ketika menerima berkat melalui imam. Saat melakukan Tanda Salib tersebut, imamalah yang mengucapkan atau menyanyikan “Dalam/Demi nama Bapa….”, umat cukup menjawab “Amin”-nya. Bersamaan dengan itu masing-masing membuat Tanda Salib pada dirinya dengan menggerakkan tangan. Yang umumnya berlaku adalah jemari menyentuh dahi pada waktu menyatakan “Bapa”, dada atau pusar (di perut) untuk “Putra”, pangkal lengan kiri untuk “Roh Kudus”, dan pangkal lengan kanan untuk “Amin”.

Menepuk Dada

Simbol liturgi menepuk dada merupakan sejenis ungkapan penyesalan diri dan pengakuan bahwa dirinya bersalah dan berdosa. Liturgi kristiani memandang gerakan menepuk dada atau memukul diri sendiri sebagai ungkapan ketidakpantasan dan pengakuan dosa di hadapan Allah. Dalam Perayaan Ekaristi, simbol menepuk dada digunakan pada saat pengakuan dosa pada ritus pembuka (Confiteor) dan pada saat jawaban bagi penerimaan komuni “Ya Tuhan, saya tidak pantas….”

Penumpangan Tangan

Penumpangan tangan merupakan simbol liturgi yang memiliki makna yang kaya dan mendalam. Dalam Kitab Suci terungkap bahwa melalui penumpangan tangan terjadilah suatu pengalihan: kepemilikan (Mzm 139:5), kesalahan (Im 16:21), tanggung jawab, wewenang atau kuasa (Im 24:14; kis 6:6; 13:3), dan kuasa Roh (Bil 27:18-23; Kis 8:17). Penumpangan tangan juga melambangkan permohonan atau penganugerahan berkat (Kej 48:14-20). Dalam liturgi Gereja, penumpangan tangan merupakan bentuk ungkapan liturgis bagi permohonan dan pencurahan Roh Kudus dan berkat serta pelimpahan kuasa atau wewenang kepemimpinan: menggembalakan, mengajar, dan menguduskan (ambil bagian dalam Tri munera Christi). Ritus penumpangan tangan biasa dilakukan uskup terhadap imam baru dalam liturgi tahbisan.

Tangan terkatup, terangkat, dan terentang

Gerakan tangan terkatup, terangkat, dan terentang mengungkapkan seluruh tindakan diri manusia. Gerakan liturgis tangan terkatup melambangkan perjumpaan antara Allah dan manusia, sikap hormat, permohonan, dan penyerahan diri manusia kepada Allah. Tangan terangkat dan terentang menunjuk pada sikap kesiapsediaan dan keterbukaan terhadap Allah serta ketidakberdayaan, kekosongan, dan kemiskinan diri kita di hadapan Allah. Pada umumnya gerakan liturgis tangan terangkat dan terentang dilakukan oleh pemimpin liturgi yang meniru Kristus yang terentang tangan-Nya di kayu salib.

Ciuman dan Jabatan tangan

Dalam liturgi, ciuman menunjuk sikap penghormatan dan ikatan persaudaraan yang erat dan akrab. Sejak awal kekristenan, liturgi Gereja sudah mengenal tindakan mencium (ciuman pipi). Dalam liturgi kita, simbol mencium masih digunakan ketika imam atau pemimpin liturgi mencium altar pada awal dan akhir perayaan liturgi. Ciuman persaudaraan yang biasa terjadi dalam liturgi Gereja pada abad-abad pertama, pada umumnya kini disederhanakan atau diganti dengan simbol lain, yakni berpelukan atau berjabatan tangan sesuai dengan nilai rasa budaya setempat (bdk. PUMR 273).

Pembasuhan tangan

Cuci atau pembasuhan tangan dalam liturgi berkaitan dengan ungkapan pembersihan dosa. Dalam liturgi Ekaristi, imam berdoa, “Ya Tuhan, bersihkanlah aku dari kesalahanku, dan cucilah aku dari dosaku”, tatkala ia membasuh tangan pada saat persembahan. Gagasan tentang makna simbol ini dilatarbelakangi oleh paham biblis bahwa dosa dan ketidakmurnian atau kenajisan selalu datang melalui sentuhan. Oleh karena itu, pembasuhan tangan (atau kaki) dengan air merupakan ungkapan permohonan dari pihak kita agar Allah mau mengampuni dosa-dosa kita dan membersihkan kita dari kesalahan dan dosa ini.


Sumber:

Emanuel Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta, 1999.

C.H. Suryanugraha, Lakukanlah Ini: Sekitar Misa Kita, SangKris, Bandung, 2003.

-----------------------, Rupa dan Citra: Aneka Simbol Dalam Misa, SangKris, Bandung, 2004.

Komisi Liturgi KWI, “Pedoman Umum Misale Romawi” (terj.), Nusa Indah, Ende, 2009.