Jumat, 09 November 2012

Minggu, 04 November 2012

Silence

Sssssst....!


Beberapa tahun lalu, saya pernah bertanya kepada seorang teman kelas saya, mengapa dia sangat pendiam dan tenang (sangat jarang memberi komentar). Waktu itu saya gelisah dan gusar melihatnya begitu tenang, nyaris tanpa reaksi. Rasanya saya ingin membuatnya aktif. Saya ingin agar dia lebih banyak berbicara, lebih banyak berkomentar, dan tidak hanya diam dan menerima saja. Ketika saya mengajukan pertanyaan tadi, dia pun hanya terdiam sambil tersenyum sedikit. Sampai sekarang pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Hanya dia yang tau jawabannya dan saya tetap bingung!

Pengalaman ini teringat kembali di benakku, saat saya mengalami dua pengalaman sederhana yang beruntun. Pertama, pada Kamis pagi, ketika saya mengikuti Misa. Pada saat itu, P. Bine yang memimpin Misa mengajak untuk merenungkan makna keheningan yang kudus. Atau menurut beliau, keheningan yang diciptakan untuk merenungkan perjalanan hidup kita. Beliau mengharapkan hal itu bisa diwujudkan dalam kesempatan-kesempatan, misalnya dalam doa, ibadat, dan sebagainya. Kedua, pada hari yang sama, Kamis siang, ketika saya mengikuti kuliah Ekaristi. P. Martasudjita juga membahas hal yang serupa. Yang berkesan bagi saya adalah mereka sama-sama mengungkapkan istilah keheningan dalam bahasa Jerman, Heiliege Stille. Itulah juga yang membuat saya tertarik untuk merenungkan hal ini.
Saya tidak tahu apakah dua pengalaman saya pada hari Kamis itu suatu kebetulan atau tidak, tetapi saya melihat ada poin positif dari pengalaman itu. Setidaknya, saya teringat akan pengalaman saya beberapa tahun yang lalu dan mencoba merenungkan hal itu. Benang merah yang kira-kira bisa menghubungkan dua atau tiga pengalaman saya ini adalah keheningan. Dalam kaca mata inilah, saya akan mencoba melihat perjalanan hidup saya.
Keheningan merupakan suatu hal yang tampaknya mudah tetapi sangat sulit dipraktekkan. Kalau mau melihat diri saya dalam kaca mata ini, saya baru sampai pada kerinduan tetapi belum bisa menghidupi keheningan itu. Sejauh ini saya hanya merindukannya, sekali-kali mengalaminya tetapi belum menjadi habitus atau pola perilaku. Terkadang situasi dan kondisi yang saya alami telah memberikan kesempatan yang kondusif untuk menghidupi keheningan itu tetapi kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang konkret, tampak, bergerak, dan terdengar selalu ada dan jauh lebih besar dorongannya. Misalnya saja, saya tinggal seorang diri dalam 1 unit memberikan peluang yang sangat besar untuk belajar menghidupi keheningan, atau dalam seminggu saya mendapat kesempatan dua kali untuk bermeditasi, tetapi ternyata hal itu sulit dan tidak semudah yang saya bayangkan. Tantangan yang paling berat adalah menenangkan hati dan pikiran. Mungkin gerakan serta suara sudah tenang tetapi sering pikiran justru tidak tenang. Hal itu menyadarkan saya bahwa keheningan itu bukan sekadar tidak berbicara, tidak melakukan aktivitas yang bersuara, atau tinggal seorang diri dalam suatu tempat. Keheningan itu bukan hanya suatu keadaan yang sunyi-senyap dan tanpa kegaduhan. Keheningan itu juga bukan semata menyangkut hal-hal yang tampak di luar, tetapi lebih dari itu. Keheningan juga menyangkut hati dan pikiran. Bahkan, keheningan inilah yang sulit saya hayati. Keheningan fisik hanya merupakan tahap pertama dari keheningan yang sesungguhnya.
Pengalaman saya beberapa tahun lalu bersama teman kelas saya menyadarkan saya bahwa betapa kegelisahan dan kegusaran hati dan pikiran untuk memberi komentar atau tanggapan (baik dalam pikiran maupun dalam perkataan) menjadi kecenderungan diri saya. Inilah yang menjadi salah satu kesulitan atau hambatan menciptakan keheningan. Bahkan, kecenderungan itu mendorong saya memberikan komentar secara spontan dan a priori sehingga bisa menimbulkan masalah yang jauh lebih besar dari sekadar mengganggu keheningan. Saya tidak akan membahas tentang masalah itu tetapi saya hanya ingin merenungkan bahwa sejauh pengalaman saya, salah satu akar dari ketidakheningan adalah kegelisahan untuk segera memberikan komentar terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Padahal tidak semua hal harus dikomentari, apalagi dengan komentar negatif. Setidaknya, inilah satu poin positif dari pengalaman sederhana yang saya alami pada hari Kamis dan beberapa tahun lalu yang bisa saya renungkan. Semoga saya bisa belajar dari pengalaman ini dan mencoba menghidupi keheningan itu, bukan hanya keheningan fisik tetapi lebih dari itu, yakni keheningan hati dan pikiran. Salah satu langkah awal yang baik adalah mencoba mengendalikan kecenderungan untuk memberikan komentar pada peristiwa yang terjadi di sekitar saya sebelum saya mengetahui latar belakang dan fakta yang sebenarnya. Harapannya kegelisahan berkurang dan keheningan pelan-pelan tercipta sebab Thomas Keating pernah mengatakan dalam The Better Part, “bahasa Allah yang pertama adalah keheningan”.

 Februari 2011
Anton P