Sabtu, 09 Februari 2013

MENJADI “PENJALA MANUSIA” DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA


BAB IV
MENJADI “PENJALA MANUSIA” DALAM KONTEKS
PLURALITAS AGAMA



4.1        Pengantar
Pada bagian sebelumnya (bab III), kita telah melihat dan memahami maksud dan tujuan panggilan para murid Yesus menjadi “penjala manusia”, yakni memngumpulkan dan membawa manusia pada kehidupan. Panggilan “menjala manusia” merupakan kewajiban setiap murid Yesus karena hal itu merupakan perintah Yesus sekaligus sebagai konsekuensi kemuridan. Oleh karena itu, setiap orang yang termasuk dalam kelompok para murid Yesus wajib menghayati panggilan “menjala manusia”. Kewajiban itu tidak pernah dibatasi oleh waktu dan situasi tertentu, termasuk situasi yang sulit, seperti pluralitas agama sekalipun.
Berdasarkan hal itu, pada bab IV ini, kita akan secara khusus membahas tentang panggilan “menjala manusia” dalam konteks pluralitas agama. Bagian ini akan diawali dengan membahas realitas pluralitas agama dan pandangan keagamaan. Setelah itu, kita akan melihat dua tegangan, yakni kewajiban “menjala manusia” dan tantangan pluralitas agama. Akhirnya, kita akan melihat pula beberapa kemungkinan cara menyikapi dua tegangan itu.  Dengan kata lain, kita mencari suatu cara bersikap yang sekaligus setia pada panggilan “menjala manusia” dan terbuka pada realitas pluralitas agama agar misi “menjala manusia” sungguh-sungguh dirasakan sebagai kabar gembira yang membawa umat manusia pada kehidupan dan keselamatan.

4.2        Realitas Pluralitas Agama (dan Pandangan Keagamaan)
Perkembangan zaman yang pesat dan dinamis menumbuhkan kesadaran akan realitas keberagaman atau pluralitas dalam hidup manusia. Kesadaran akan pluralitas ini disebabkan oleh semakin majunya alat-alat komunikasi sehingga manusia semakin mudah mengenal berbagai hal, bukan hanya yang ada di sekitarnya tetapi pada bagian bumi yang begitu jauh dari dirinya. Selain itu, hal ini juga dipercepat oleh kemajuan alat-alat transportasi sehingga manusia mudah bergerak dari daerah satu ke daerah yang lain. Kontak antar-manusia yang berbeda latar belakang ini semakin membuka pemahaman akan pluralitas[1]. Realitas ini merupakan bagian dari kehidupan sehingga tidak bisa diingkari oleh manusia. Mengingkari hal ini berarti mengingkari identitas keberadaan manusia dalam kebersamaannya dengan yang lain. Oleh karena itu, satu-satunya cara adalah menerima realitas ini dan berusaha menyesuaikan diri di dalamnya.
Ciri khas masyarakat pada zaman ini adalah relasinya dengan masyarakat lain yang semakin luas dan kompleks. Manusia tidak mungkin lagi hidup dalam kelompok masyarakatnya sendiri tanpa berelasi, entah secara langsung atau tidak langsung dengan kelompok masyarakat lain. Ciri masyarakat ini juga menyangkut hidup dan paham keagamaannya. Dalam masyarakat yang plural sering kali terdapat juga beberapa agama yang telah menyatu dengan identitas masyarakat tersebut. Misalnya, masyarakat di Asia pada umumnya dan Indonesia khususnya yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan kelompok masyarakat memiliki agama yang beragam. Dalam masyarakat seperti ini, agama sering menjadi identitas kelompok masing-masing. Oleh karena itu, di satu pihak, perjumpaan (relasi) intensif antaragama merupakan realitas yang tidak bisa dihindari dalam masyarakat seperti ini. Di lain pihak, dalam relasi yang intensif itu muncul kesadaran baru untuk menegaskan dan menyatakan kekhasan identitas agama masing-masing. Dalam hal inilah dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pluralitas sekaligus menjadi berkat dan tantangan bagi umat beragama[2].
Pluralitas akan menjadi berkat apabila melalui perjumpaan dengan agama-agama lain, umat beragama menyadari kekhasan identitas agamanya masing-masing tanpa menciptakan konflik karena perbedaan itu. Dalam hal ini, perjumpaan yang tidak bisa dihindari itu menjadikan umat beragama saling memperkaya diri masing-masing. Sebaliknya, perjumpaan itu dapat pula menjadi tantangan yang sangat berarti bagi agama-agama apabila terjadi perbedaan pandangan keagamaan yang kadang menimbulkan konflik kepentingan antaragama. Bahkan, tidak jarang perbedaan ini menjadi hambatan dalam menciptakan kehidupan beragama yang harmonis.
Dalam realtitas pluralitas agama muncul pandangan-pandangan keagamaan yang merupkan suatu usaha menyikapi realitas itu. Sebagai contoh, beberapa pandangan keagamaan dapat diamati dalam perkembangan pandangan Gereja berhadapan dengan realitas pluralitas agama. Dalam diri Gereja, ada tiga cara bersikap anggota Gereja berhadapan dengan pluralitas agama, yakni eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme religius. Ketiga sikap ini mewarnai sejarah perkembangan Gereja di tengah zaman yang semakin maju dan majemuk ini. Eksklusivisme merupakan suatu pandangan bahwa hanya agama tertentu saja yang memiliki kebenaran keagamaan. Dengan demikian, agama-agama lain dianggap seluruhnya salah dan anggota-anggotanya harus ditobatkan[3]. Inilah sikap masa lalu Gereja yang menutup diri terhadap pluralitas agama sebab menganggap dirinya sebagai satu-satunya agama yang paling benar sedangkan agama-agama lain salah dan tidak memiliki nilai-nilai kebenaran.
Akan tetapi, sejak Konsili Vatikan II hingga saat ini Gereja bersikap inklusif terhadap realitas agama-agama lain. Inklusivisme merupakan suatu pandangan melihat bahwa agama-agama lain relatif benar sebagai jalan berbeda kepada Allah tetapi kebenaran yang sempurna terdapat dalam agama tertentu[4]. Maka, Gereja yang bersikap inklusif akan mengatakan bahwa semua orang akan diselamatkan Allah tetapi hanya dalam Kristus. Hal ini menyatakan bahwa di satu sisi, Gereja terbuka dan mengakui nilai-nilai positif dalam tradisi religius yang lain (bdk. NA 2) tetapi di sisi lain, Gereja menganggap Kristus yang diimani dan diwartakan Gereja merupakan Pengantara satu-satunya kepada keselamatan (bdk. LG 14 dan 16; 1 Tim 2:3-6).
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pluralisme religius yang menolak eksklusivisme dan inklusivisme religius. Sikap ini dikembangkan oleh beberapa tokoh Kristiani, seperti John Hick, Raimundo Pannikar, Paul Knitter, dan sebagainya, yang dilatarbelakangi oleh pluralitas religius yang mereka hadapi. Menurut John Hick, pluralisme religius menunjuk pada teori khusus tentang relasi antara tradisi-tradisi yang berbeda dengan segala perbedaan dan klaimnya masing-masing. Teori ini menyatakan bahwa agama-agama besar dunia memiliki konsep, persepsi, dan tanggapan yang berbeda-beda terhadap realitas Allah yang misteri[5]. Perbedaan konsep, persepsi, dan tanggapan akan realitas Allah bukan hal yang esensi karena ini hanya cara (jalan) agama merefleksikan atau menangkap realitas Allah.
Hick mendasari pandangannya pada pembedaan antara “Yang Real” pada diri-Nya sendiri (an sich) dan “Yang Real” sebagaimana yang dialami dan dipikirkan manusia[6]. “Yang Real” pada diri-Nya sendiri mengatasi “Yang Real” sebagaimana dialami oleh manusia. “Yang Real” sebagaimana yang dialami dan diberi konsep oleh manusia, seperti Allah, Tuhan, Yahwe, Sunyata, Shiva, dan lain-lain hanya merupakan manifestasi dari “Yang Real” pada diri-Nya sendiri (an sich). Perbedaan-perbedaan yang muncul merupakan keterbatasan manusia memahami atau mengidentifikasi “Yang Real” pada diri-Nya sendiri sehingga yang ada hanya “Yang Real” sebagaimana dialami dan ditangkap manusia. Hal ini disebut Hick sebagai “pengalaman-sebagai” (experience-as) yang berkenaan dengan sebuah konsep, dan konsep-konsep itu merupakan produk sosial yang hidup di dalam lingkungan linguistik yang khusus[7].
Perbedaan yang tampak dalam setiap agama hanyalah perbedaan cara pengungkapan saja[8]. Dengan demikian, tidak ada agama yang pantas mengklaim kebenaran atau keselamatan absolut yang hanya melaluinya manusia dapat memperoleh keselamatan. Akan tetapi, setiap agama dianggap sebagai “ruangan” atau “jalan” alternatif keselamatan di mana manusia dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan kepenuhan hidup[9]. Dalam hal ini, semua agama dipandang sama saja. Pandangan ini lebih cenderung melihat unsur kesamaan setiap agama dan mengabaikan perbedaan atau kekhasannya masing-masing.  Akibatnya, pandangan ini sangat mudah jatuh pada relativisme dan sinkretisme keagamaan[10]. Selain itu, misi “menjala manusia” dalam pengertian mengumpulkan dan membawa manusia pada kehidupan bersama Allah melalui Yesus Kristus kurang mendapat tempat dalam pandangan ini sebab Yesus dilihat hanya sebagai salah satu jalan menuju keselamatan.

4.3        Tantangan Pluralitas Agama Bagi Misi “Menjala Manusia”
Dalam realitas pluralitas agama terdapat bebagai macam agama (dan aliran kepercayaan) dengan kekhasannya masing-masing. Adanya berbagai macam agama (dan aliran kepercayaan) ini menjadi tantangan bagi misi perutusan “menjala manusia” Bagaimana mengumpulkan dan membawa manusia pada kehidupan (hidup bersama Allah melalui Yesus Kristus) kalau setiap orang telah memiliki keyakinan agama dan kepercayaan masing-masing? Bahkan, mereka meyakini bahwa keyakinan agama (dan aliran kepercayaan) mereka sebagai jalan untuk memperoleh keselamatan serta jauh lebih baik dan benar dari agama-agama lain. Selain itu, dalam pluralitas agama muncul pula pandangan keagamaan, yakni pluralisme religius yang menganggap misi “menjala manusia” tidak perlu lagi dilakukan sebab semua agama sama sebagai jalan menuju kehidupan atau keselamatan[11].
Kenyataan pluralitas agama telah mendorong Gereja memperbarui pandangannya mengenai hubungannya dengan agama-agama lain. Bahkan lebih dari itu, Gereja juga mencoba merumuskan secara baru makna misi perutusan dalam konteks keberagaman tersebut[12].  Melalui KV II, Gereja mengajak umatnya mengakui dan menghormati nilai-nilai religius yang dimiliki oleh agama-agama lain (bdk. NA 3)[13]. Lebih jauh lagi, Bapa-bapa KV II merumuskan ajaran bahwa Gereja juga mengakui kebenaran-kebenaran dalam agama-agama lain sebagai persiapan injil. Maka, setiap orang (pemeluk agama lain) yang tanpa bersalah tidak mengenal injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata dapat memperoleh keselamatan (bdk. LG 16). Pengakuan terhadap nilai-nilai religius agama-agama lain tidak mengimplikasikan relativisme religius. Keterbukaan terhadap nilai-nilai religius agama-agama lain tidak berarti mengurangi atau bahkan meninggalkan apa yang diyakini. Itu merupakan suatu sikap kerendahan hati[14].
Kendatipun demikian, sikap Gereja ini menimbulkan pertanyaan, apakah misi “menjala manusia” masih diperlukan kalau setiap orang (pemeluk agama lain) dapat memperoleh keselamatan tanpa mengenal Kristus? Persoalan ini pulalah yang dipertanyakan dalam konteks pluralitas agama, khususnya oleh kaum pluralis yang menganggap semua agama sama saja sebagai jalan memperoleh keselamatan. Bukankah sikap Gereja ini mendukung pluralisme religius[15]? Dalam hal ini, Gereja ditantang untuk memikirkan perwujudan misi “menjala manusia” dalam konteks plurlitas agama saat ini.

4.4        Kewajiban “Menjala Manusia” Sebagai Konsekuensi Kemuridan
Dalam konteks pluralitas agama misi “menjala manusia” mulai dipertanyakan relevansinya. Apakah misi itu masih penting dilakukan atau tidak? Kalau ya, lalu alasannya apa? Menjawab hal ini, perlu dilihat bahwa misi “menjala manusia” itu bukanlah pilihan tetapi kewajiban setiap murid Kristus.
Dalam Luk 5:1-11, panggilan “menjala manusia” hanya ditujukan kepada Simon (dan teman-temannya). Panggilan itu merupkan panggilan untuk menyelamatkan manusia dari kuasa maut dan memelihara kehidupan mereka dengan menjadikan mereka pengikut Kerajaan Allah[16]. Implikasi panggilan Simon dan teman-temannya adalah melanjutkan misi Yesus, yakni mewartakan Injil Kerajaan Allah demi keselamatan manusia (merenggut manusia dari kuasa maut) serta mengumpulkan manusia untuk bergabung dalam Kerajaan itu. Dari sinilah akhirnya dapat dilihat bahwa panggilan “menjala manusia” juga ditujukan kepada setiap murid Kristus serta menjadi kewajiban mereka[17].
Setiap murid Kristus dipanggil untuk melanjutkan misi perutusan Yesus Kristus. Tugas panggilan itu tampak dalam pembaptisan. Salah satu makna teologis baptisan adalah baptisan sebagai penyerupaan pada Yesus Kristus. Artinya, dengan baptisan kita menjadi serupa dengan Yesus Kristus. Dengan baptisan,  kita berpartisipasi dan mengambil bagian dalam seluruh hidup dan nasib Yesus Kristus[18]. Dengan demikian, setiap orang yang telah dibaptis telah diserupakan dengan Yesus Kristus serta memiliki hak dan kewajiban untuk ambil bagian dalam seluruh hidup Yesus Kristus, termasuk melanjutkan misi perutusan-Nya, yakni “menjala manusia” atau mewartakan Injil Kerajaan Allah agar manusia memperoleh kehidupan dan keselamatan (bdk. AG 7).
Panggilan “menjala manusia” merupakan tanggung jawab seluruh Gereja, seluruh umat Allah, semua (sebagai komunitas) dan setiap (sebagai pribadi) anggotanya (bdk. AG 35 dan 36). Bahkan, pewartaan itu bukan sumbangan atas pilihan sendiri tetapi tugas Gereja atas perintah Tuhan Yesus, supaya umat dapat beriman dan diselamatkan (bdk. EN 5). Oleh karena itu, bagaimanapun situasinya setiap murid Kristus harus setia pada panggilannya, yakni “menjala manusia” sebab itu merupakan  konsekuensi kemuridannya. Kendatipun demikian, setiap murid Kristus harus menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi agar panggilan “menjala manusia” sungguh-sungguh membawa kehidupan bagi setiap orang sesuai dengan konteks zamannya.



4.5        Menyikapi Dua Tegangan: Kewajiban “Menjala Manusia” dan Tantangan Pluralitas Agama
Dalam konteks pluralitas agama (dan pandangan keagamaan) muncul pertanyaan, bagaimana menjalankan panggilan “menjala manusia” tanpa mengingkari realitas pluralitas agama? Dengan kata lain, dalam konteks itu muncul dua tegangan, yakni kewajiban “menjala manusia” dan tantangan pluralitas agama. Dua tegangan ini harus selalu diperhatikan agar tidak saling meniadakan. Pluralitas agama tidak boleh meniadakan misi “menjala manusia” tetapi misi “menjala manusia” juga harus memperhatikan situasi pluralitas agama yang kompleks agar misi itu efektif dan berdaya guna pada konteks zamannya. Dengan demikian, dituntut dari setiap murid Kristus yang sekaligus “penjala manusia” agar di satu sisi setia pada panggilannya “menjala manusia” tetapi di sisi lain terbuka pada realitas pluralitas agama. Sikap inilah yang harus dihayati oleh setiap murid Kristus. Berdasarkan hal itu, berikut ini akan dibahas beberapa sikap dan tindakan “penjala manusia” (cara “menjala manusia”) dalam konteks pluralitas agama.

4.5.1   Menampilkan Kekhasan Hidup Kristiani
Yang dimaksud dengan menampilkan kekhasan hidup Kristiani adalah suatu cara hidup umat Kristiani yang sungguh-sungguh menghayati imannya kepada Kristus bahwa Kristuslah Sang Juruselamat satu-satunya dan tidak ada pengantara lain, selain Dia (bdk. 1 Tes 2:3-6). Tugas ini bersifat internal (evangelisasi ke dalam) dan ditujukan kepada umat Kristiani sendiri, yakni bagaimana meneguhkan mereka agar menghayati imannya dengan sungguh. Namun, hal ini sangat penting karena dasar dari misi adalah keyakinan yang mendalam akan apa yang diimani. Tanpa keyakinan ini, umat Kristiani bisa jatuh pada sikap yang merelatifkan semua agama (relativisme religius). Sikap inilah yang terjadi dalam pluralisme religius yang menganggap semua agama sama saja sehingga kekhasan masing-masing agama hilang. Dengan sungguh menghayati iman akan Yesus Kristus, umat Kristiani akan semakin mengakui dan menampilkan kekhasannya, bukan sebagai bentuk kesombongan tetapi sebagai kekayaan keyakinannya. Inilah misi utama dan pertama yang harus dilakukan oleh Gereja sebelum melakukan misi kepada semua bangsa (evangelisasi ke luar).
Untuk menampilkan kekhasan hidup Kristiani, Gereja harus menumbuhkan kesetiaan pada iman serta membina persatuan dan kerja sama di antara umat. Keutamaan-keutamaan ini hanya bisa dibangun dalam keyakinan teguh akan Yesus Kristus. Mengenai hal ini, sebagaimana yang telah digambarkan oleh penginjil Lukas dalam kisah Luk 5:1-11, para nelayan atau murid-murid pertama telah memberikan teladan kepada Gereja dewasa ini. Pada kisah itu dilukiskan bagaimana Simon dan teman-temannya meletakkan pengharapan dan keyakinan mereka pada Yesus saat menjala ikan. Bahkan, ketika mereka mengalami kesulitan dengan hasil tangkapan, mereka bersatu dan bekerja sama mengatasi kesulitan itu sehingga bisa mengatasinya serta mendapatkan hasil tangkapan yang sangat banyak. Dengan demikian, kesetiaan, persatuan (yang meliputi kesatuan iman dan pandangan), dan kerja sama merupakan kunci menuju kesuksesan dalam usaha “menjala manusia”.

4.5.2   Menumbuhkan Kesaksian Hidup Kristiani
Kesaksian hidup merupakan perwujudan dari nilai-nilai Injil Kerajaan Allah dalam kehidupan nyata. M. Zago, dalam bukunya La Chiesa in Asia Oggi,  mengatakan bahwa dalam pluralitas agama (dan pandangan keagamaan), kesaksian hidup tentang keselamatan dan pewahyuan ilahi lebih diperhitungkan daripada kata-kata, karena nilai-nilai injil dan pengalaman hidup Kristiani lebih transparan bagi yang lain[19]. Bahkan, Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II melihat kesaksian sebagai bentuk yang pertama dan utama pewartaan injil di dalam masyarakat (bdk. EN 21; RM 42). Kesaksian hidup itu diwujudkan dengan penghargaan dan cinta kasih menggabungkan diri dengan sesama, menyadari diri sebagai anggota masyarakat di lingkungan, dan ikut serta dalam kehidupam budaya dan sosial melalui aneka cara pergaulan hidup manusiawi dan pelbagai kegiatan (bdk. AG 11). Dalam partisipasi itu, umat Kristiani hendaknya menampilkan diri, keluarga, serta persekutuan anggota Gereja sebagai “garam”, “ragi”, dan “terang” yang menyingkapkan suatu cara hidup yang baru (bdk. RM 42). Dengan kata lain, kesaksian hidup Kristiani itu harus mencerminkan nilai-nilai injili, yang menurut Paus Yohanes Paulus II terdiri atas tiga sikap, yakni semangat cinta kasih, hormat terhadap martabat manusia sebagai anak tercinta Allah, dan solidaritas dengan orang-orang miskin dan lemah[20].
Kesaksian hidup yang merupakan pewartaan injil akan menarik orang lain dengan bebas kepada Kristus kalau Bapa menghendakinya melalui karya Roh Kudus (bdk. Yoh 6:44). Dalam surat Apsotoliknya, Paus Paulus VI menggambarkan pengaruh kesaksian hidup Kristiani. Beliau mengatakan bahwa melalui kesaksian tanpa kata-kata, orang-orang Kristiani menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tak tertahan di hati mereka yang menyaksikan cara hidup orang-orang Kristiani itu, misalnya mengapa mereka hidup seperti itu? Siapa yang mengilhaminya? Mengapa mereka ada di tengah kita? Kesaksian itu diam-diam sudah mewartakan kabar gembira yang berpengaruh besar dan efektif (bdk. EN 21). Menanggapi pertanyaan-pertanyaan inilah, umat Kristiani dapat memberikan kesaksian dengan kata-kata. Oleh karena itu, dalam konteks ini, misi perutusan “menjala manusia” harus diletakkan dalam seluruh karya Roh Kudus yang “bertiup ke mana Ia kehendaki” (bdk. Yoh 3:8) dan berkarya dalam hati setiap orang (bdk. EN 75).
“Menjala manusia” melalui kesaksian hidup telah diteladankan oleh Yesus dalam kisah Luk 5:1-11. Ia tidak datang dan serta-merta memanggil para nelayan untuk mengikuti-Nya. Ia datang mewartakan Injil Kerajaan Allah, berdialog dengan para nelayan itu, dan melakukan mukjizat. Singkatnya, Ia datang membawa “kehidupan” bagi orang banyak, khususnya para nelayan yang telah kehilangan harapan.
Yesus menampakkan Kerajaan Allah itu melalui kesaksian hidup-Nya yang mengagumkan banyak orang. Berkat kesaksian hidup-Nya itulah, para nelayan tergerak untuk meninggalkan segala sesuatu demi mengikuti-Nya. Bapa telah menarik para nelayan itu melalui karya Roh Kudus kepada Yesus. Cara Yesus “menjala manusia” ini tidak mengurangi kebebasan para pendengarnya (khususnya para nelayan). Ia tidak melakukan intrik-intrik untuk mencari pengikut-Nya, juga tidak melakukan pemaksaan atau tekanan terhadap mereka. Ia menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga rela melepaskan segala sesuatu dengan bebas untuk mengikuti-Nya.

4.5.3   Membina Dialog Positif dan Konstruktif dengan Umat Beragama Lain
Dalam dokumen Dialogue and Mission (DM)[21] ditegaskan bahwa setiap semangat misioner yang tidak dijiwai oleh semangat dialog akan bertentangan dengan tuntutan kemanusiaan yang sejati dan melawan ajaran injil (bdk. DM 29). Hal ini menunjukkan bahwa dialog merupakan semangat yang mutlak perlu dalam misi[22]. Dalam dokumen yang sama dinyatakan bahwa dialog bukan wujud oportunisme atau taktik sementara tetapi muncul dari alasan yang diperdalam oleh  pengalaman-pengalaman, refleksi, dan bahkan kesulitan-kesulitan itu sendiri (bdk. DM 20). Oleh karena itu, dialog dalam hal ini harus dipahami secara luas. Dialog berarti bukan hanya berdiskusi melainkan juga meliputi semua hubungan antaragama yang positif dan konstruktif dengan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya (bdk. DM 3)[23].
Lebih jauh lagi, dokumen Gereja Redemptoris Missio (RM) menegaskan bahwa dialog interreligius merupakan bagian dari misi. Jika dialog dipahami sebagai metode dan sarana-sarana untuk saling memperkaya dan mengenal maka dialog tidak bertentangan dengan misi kepada bangsa-bangsa (ad gentes). Dalam hal ini, dialog merupakan salah satu pengungkapan misi (bdk. RM 55). Dokumen Gereja yang lain yang juga berbicara tentang dialog dan pewartaan adalah Dialogue and Proclamation (1991). Dalam dokumen ini dinyatakan bahwa dalam konteks pluralisme agama, dialog berarti hubungan yang positif dan konstruktif dengan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan memperkaya (bdk. DP 9).
Dialog interreligius yang sejati pada pihak orang Kristiani mengandaikan keinginan untuk membuat Yesus dikenal lebih baik, diakui, dan dikasihi (bdk. DP 77). Dengan demikian, Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM. menyimpulkan bahwa dokumen Dialogue and Proclamation menganjurkan agar dielakkan dialog yang berorientasikan sekadar pada hal-hal yang netral, yang dapat dimaklumi semua pihak, yang sekadar mencari jalan pintas kompromi-kompromi yang memuaskan. Dalam hal ini, umat Kristiani “seraya masuk dalam dialog dengan suatu pikiran terbuka terhadap para pengikut tradisi-tradisi keagamaan lain, orang-orang Kristiani mungkin juga harus berani menantang mereka dalam suatu semangat yang penuh kedamaian terhadap isi iman mereka. Tetapi orang-orang Kristiani juga harus membiarkan diri ditantang. Meskipun kepenuhan Wahyu Allah ada dalam diri Yesus Kristus, namun cara orang-orang Kristiani dalam memahami dan menghayati misteri-misteri kudus yang menyelamatkan, mungkin memerlukan pemurnian” (bdk. DP 32)[24]. Oleh karena itu, dialog yang positif dan konstruktif merupakan suatu cara untuk saling memahami dan memperkaya antarumat beragama yang berbeda-beda.
Dalam dokumen Gereja Dialogue and Proclamation, diungkapkan beberapa bentuk perwujudan dialog yang bisa dilakukan dalam kehidupan konkret umat Kristiani dengan umat beragama lain. Bentuk-bentuk dialog itu antara lain: dialog kehidupan, dialog karya, dialog pandangan teologis, dan dialog mengenai pengalaman keagamaan (bdk. DP 42)[25]. Melalui bentuk-bentuk dialog inilah umat Kristiani dengan caranya masing-masing, khususnya melalui kesaksian hidup, memperkenalkan Kristus (melaksanakan misi perutusannya) kepada umat beragama lain.
Yesus dalam kisah Luk 5:1-11 telah memberikan teladan tentang dialog. Ia menyatakan panggilannya kepada Simon dan teman-temannya di pantai danau Genesaret melalui dialog kehidupan. Ia tidak langsung memanggil murid-murid tetapi mengawali panggilan-Nya dengan berdialog tentang menjala ikan yang merupakan mata pencaharian para nelayan itu. Bahkan, Ia memanggil mereka bukan dengan suatu ajakan atau perintah langsung untuk mengikuti-Nya melainkan suatu pernyataan panggilan saja. Dalam hal ini, Ia tidak memaksakan panggilan-Nya kepada mereka tetapi memberikan kebebasan sepenuhnya kepada mereka untuk menanggapi panggilan-Nya itu. Keputusan untuk mengikuti-Nya atau tidak, seluruhnya ditentukan oleh para nelayan itu secara bebas dan sadar (bdk. Luk 5:11)
Kegiatan “menjala manusia” oleh umat Kristiani melalui dialog juga harus ditempatkan dalam teladan dialog Yesus dalam Luk 5:1-11. Dengan demikian, dialog bukan pertama-tama untuk memasukkan penganut agama lain ke dalam Kristen melainkan untuk memperkenalkan Kristus melalui kesaksian hidup mereka agar Ia semakin dikenal dan dikasihi. Persoalan mereka mau mengikuti Yesus secara eksplisit (menjadi Kristen) atau tidak, dalam hal ini harus diserahkan kepada Roh Kudus yang berkarya dalam hati nurani setiap orang. Dia-lah yang akan menggerakkan setiap pribadi menuju panggilan hidupnya masing-masing termasuk mendorong mereka bergabung dalam kelompok murid-murid Kristus.

4.5.4   Membela dan Memperjuangkan Martabat Manusia.
Salah satu cara “menjala manusia” dalam konteks pluralitas agama adalah melalui pembelaan martabat manusia[26]. Dalam hal ini, “menjala manusia” atau mewartakan Injil Kerajaan Allah dan merenggut umat manusia dari kuasa maut harus dipahami secara luas. A. Gianto, SJ. mengungkapkan bahwa realitas “maut” itu panjang, yakni kemelaratan, kebodohan, ketidakadilan, penindasan, perpecahan, tak adanya damai, dan sebagainya[27]. Oleh karena itu, “menjala manusia” dalam konteks ini dapat berarti menyelamatkan atau membebaskan manusia dari kemelaratan, kebodohan, ketidakadilan, dan sebagainya. Dengan kata lain, panggilan “menjala manusia” dipahami sebagai bentuk pembelaan martabat manusia atau sebagai bentuk perjuangan nilai kemanusiaan.
Menurut Mgr. I. Suharyo, perjuangan nilai-nilai kemanusiaan bisa menjadi undangan pertama (pintu masuk) untuk memulai karya misi di tengah masyarakat yang plural, seperti Asia[28]. Lebih jauh, Y. Hariprabowo mengungkapkan bahwa pelayanan kepada manusia dan dunia merupakan konkretisasi pembangunan Kerajaan Allah[29]. Dengan demikian, antara pembelaan martabat manusia atau perjuangan nilai-nilai kemanusiaan dan misi evangelisasi (pewartaan Injil Kerajaan Allah) terdapat hubungan yang tidak terpisahkan. Kiranya hal ini telah ditunjukkan oleh Yesus dalam melaksanakan karya perutusan-Nya di dunia ini. Bahkan, dalam kisah Luk 5:1-11, hal ini tampak, misalnya ketika Yesus membebaskan Simon dan teman-temannya dari kemiskinan hari itu atau membebaskan mereka dari keputusasaan hari itu (mukjizat penangkapan ikan).



4.6        Kesimpulan
Panggilan “menjala manusia” di tengah pluralitas agama (dan pandangan keagamaan) merupakan suatu tantangan yang sangat berat. Meskipun demikian, tantangan itu tidak bisa meniadakan tugas panggilan “menjala manusia” sebab panggilan itu merupakan kewajiban bagi setiap murid Kristus sebagai konsekuensi kemuridannya. Oleh karena itu, dalam tegangan ini, setiap murid Kristus ditantang untuk semakin setia pada iman sekaligus semakin kreatif dalam mewujudkan iman tersebut dalam perjumpaan dengan umat beragama lain. Dengan kata lain, setiap murid Kristus perlu menemukan sikap dan tindakan sebagai “penjala manusia” (atau cara “menjala manusia”) dalam menghadapi realitas pluralitas agama.
Meskipun situasi dan konteksnya tidak sama, Yesus telah memberikan teladan bagaimana cara Ia “menjala manusia” dalam kisah Luk 5:1-11. Sebagai murid Yesus Kristus yang hanya ambil bagian dalam misi-Nya tentu saja perlu meneladani sikap Yesus ini agar apa yang diharapkan dapat terwujud sebagaimana yang telah dialami oleh Yesus. Bentuk patisipasi itu dapat kita wujudkan dengan menampilkan kekhasan iman kita, menumbuhkan kesaksian hidup injili, membina dialog positif dan konstruktif dengan umat beragama lain, serta membela dan memperjuangkan martabat manusia. Keempat usaha ini hanyalah suatu kemungkinan yang bisa dilakukan dalam konteks pluralitas agama. Kiranya usaha-usaha itu dapat membantu kita (para murid Yesus Kristus sekaligus “penjala manusia”), memenuhi kewajiban kita sekaligus menjawab tantangan pluralitas agama bagi karya misi “menjala manusia”.


[1] Y. Hariprabowo, “Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya”, Orientasi Baru 18 (2009), 33.
[2] Bdk. Y. Hariprabowo, “Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya”, 33-35.
[3] A. Heuken SJ., “Eksklusivisme Keagamaan”, Ensiklopedi Gereja, II, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2004, 106.
[4] A. Heuken SJ., “Inklusivisme Keagamaan”, Ensiklopedi Gereja, III, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2004, 111.
[5] J. Hick, “Religious Pluralism”, dalam Mircea Eliade dkk. (eds), The Encyclopedia of  Religion, 11, Macmillan Publishing Company, New York 1987, 331.
[6] Paul Tillich menggunakan istilah “Allah” (God) dan “Allah di atas Allah” (the God above God) untuk membedakan realitas Allah (Yang Real) pada diri-Nya dan Allah yang dialami manusia. Bdk. J. Hick, “Religious Pluralism”, 331.
[7] J. Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent, Macmillan Press Ltd, London 1989, 141.
[8] Atau menurut pandangan Hick yang didasari oleh pandangan Imanuel Kant, perbedaan-perbedaan yang muncul dalam merefleksikan Yang Ilahi merupakan dimensi fenomenal saja bukan noumenal. Bdk. Cypri Jehan Paju Dale’, “Dasar Filosofis Bagi Paradigma Pluralisme Religius Menurut John Hick”, Jurnal Filsafat Driyarkara XXVII, (2004), 110.
[9] J. Hick, “Religious Pluralism”, 331. bdk. pula J. Hick, An Interpretation of Religion, 240.
[10] Relativisme keagamaan berarti memandang kebenaran agama-agama secara relatif, tanpa standar kebenaran. Sedangkan sinkretisme keagamaan berarti mencampuradukkan aneka pemikiran/ajaran/praktek keagamaan, yang berbeda dan bahkan kadang-kadang bertolak belakang asal-usul atau maknanya. Bdk. A. Heuken SJ., “Sinkretisme Keagamaan”, dalam Ensiklopedi Gereja IV, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 1994, 242-243.
[11] Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, Obor, Jakarta 2004, 8.
[12] Salah satu usaha untuk memahami misi secara baru sesuai dengan konteks adalah memberikan pemaknaan baru kepada misi tanpa menghilangkan esensinya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pengertian misi menurut Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC) V di Bandung, 1990. Menurut FABC, misi berarti berada bersama orang-orang, menjawab kebutuhan mereka, dengan kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam kebudayaan dan tradisi agama yang lain, dan kesaksian tentang nilai-nilai Kerajaan Allah melalui kehadiran, solidaritas, berbagi pengalaman iman, dan kata-kata. Misi berarti dialog dengan masyarakat miskin Asia, kebudayaan lokalnya, dan dengan tradisi agama lain. Dalam hal ini, para uskup Asia tidak melihat misi sebagai pewartaan verbal semata, tetapi lebih dari itu mereka melihat dan memahami misi dalam konteksnya, yakni sebagai kesaksian hidup dan dialog dengan sesama yang miskin, budaya dan agama-agama lain. Bdk. Jonathan Tan, “A Triple Dialogue with Asian Culture, Religions, and the Poor”, dalam Edmund Chia, FSC, (ed), Dialog, Resource Manual for Catholics in Asia, FABC-OEIA, Thailand 2001, 112.
[13] Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 6.
[14] Hal ini diungkapkan oleh Mgr. I. Suharyo dalam The Catholic Way bahwa tidak mungkin lagi membangun “hidup bersama” tanpa menerima fakta kemajemukan (baik dalam hal agama maupun kebudayaan). Itu bukanlah suatu relativisme, tetapi kerendahan hati di depan kekayaaan hidup itu sendiri dan kekayaan kebhinekaan (pluralitas). Bdk. Mgr. I. Suharyo, The Catholic Way, Kanisius, Yogyakarta 2009, 87.
[15] F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 8.
[16] J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 563; bdk. pula Leander E. Keck (ed.), Luke 5:1-11, Calling the Fishermen, 117.
[17] Bdk. A. Gianto, SJ., Dag-Dig-Dug….Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, Kanisius, Yogyakarta 2004, 152.
[18] E. Martasudjita, Pr., Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta 2003, 221.
[19] M. Zago, La Chiesa in Asia Oggi, 96, seperti dikutip dalam Y. Hariprabowo, “Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya”, 41.
[20] Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 113.
[21] Judul asli dokumen ini adalah “The Attitude of Church toward the Followers of Other Religions: Reflection and Orientation Dialogue and Mission”.
[22] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM., Dialog Interreligius, Kanisius, Yogyakarta 2010, 129.
[23] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM., Dialog Interreligius, 131.
[24] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM., Dialog Interreligius, 143.
[25] Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM. menjelaskan masing-masing bentuk dialog tersebut. Menurutnya, dialog kehidupan memaksudkan hidup dalam suatu semangat keterbukaan dan bertetangga, saling membagi kegembiraan dan kedukaan, dan aneka pengalaman hidup yang membelitnya. Dialog karya mengungkapkan kerja sama konkret dalam rupa-rupa perjuangan demi pembangunan manusia dan pencapaian keadilan. Dialog pandangan teologis mencetuskan keterlibatan dari para ahli dari masing-masing agama dalam usaha saling mendengarkan dan memperkaya nilai-nilai keagamaannya. Dialog mengenai pengalaman keagamaan mengajak pribadi-pribadi untuk saling membagikan kedalaman pengalaman rohaninya. Hal ini sering kali berkaitan dengan doa, kontemplasi, dan aneka cara dalam mendekatkan diri kepada Allah. Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM., Dialog Interreligius, 145.
[26] Bdk. Y. Hariprabowo, “Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya”, 40.
[27] Bdk. A. Gianto, SJ., Dag-Dig-Dug….Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, 153.
[28] Bdk. Mgr. I. Suharyo-Indonesia, “Evangelisation-The Asian Way”, dalam Edmund Chia, FSC, (ed), Dialog, Resource Manual for Catholics in Asia, FABC-OEIA, Thailand 2001, 101.
[29] Y. Hariprabowo, “Misi Gereja di Tengah Pluralitas Agama dan Budaya”, 40.

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih tuhan atas keingintahuan yang Engkau karuniakan kepadaku.