Jumat, 04 Juni 2010

Andaikan Pastor Seorang Konselor

 "(Andaikan) Pastor Seorang Konselor"

 

 

I.             Pengantar

Realitas kehidupan saat ini sungguh kompleks dengan segala persoalannya masing-masing. Dalam bidang kehidupan apa saja persoalan terasa begitu banyak dan menghambat kinerja hidup. Realitas itu tidak bisa tidak menimbulkan masalah bagi manusia yang memiliki kehidupan dan yang bekecimpung dalam berbagai bidang kehidupan. Masalah yang muncul bermacam-macam. Ada masalah yang dapat dikategorikan ringan dan berat, tergantung jenis masalahnya dan siapa yang menghadapinya. Masalah-masalah yang kompleks dalam kehidupan yang kompleks ini kadang sulit dihadapi oleh manusia seorang diri tetapi harus membutuhkan bantuan orang lain karena manusia adalah makhluk sosial.

Dalam situasi seperti ini maka peranan seorang kenselor sangat dibutuhkan. Ketika manusia yang bermasalah sudah tidak mampu lagi menghadapi masalahnya seorang diri maka tentu ia akan mencari seseorang (konselor) yang bisa membantunya. Sayangnya cara seperti ini kurang tepat kalau disejajarkan dengan fungsi konseling itu sendiri. Konseling tidak hanya berfungsi untuk mengatasi masalah yang ada tetapi juga berfungsi untuk memberikan pemahaman dan pencegahan atas kemungkinan munculnya masalah. Prinsipnya adalah "lebih baik mencegah daripada mengobati".

Kendatipun demikian, satu hal yang muncul dari fenomena seperti itu adalah bahwa kehadiran seorang konselor masih sangat dibutuhkan di dalam dunia yang serba kompleks ini. Dengan demikian, anggapan banyak orang bahwa konselor itu tidak sangat perlu karena semua orang bisa menjadi konselor dan semua orang bisa memberi nasihat adalah anggapan yang keliru. Itu adalah kesalahpemahaman terhadap makna konselor. Berdasarkan hal ini penulis akan mencoba menguraikan bahwa konselor itu masih sangat dibutuhkan bukan sebagai pemberi nasihat atau decision maker, tetapi sebagai penolong bagi individu untuk menyelesaikan sendiri masalahnya. Tema yang akan penulis angkat adalah "Andaikan Pastor seorang konselor". Tema ini menunjukkan bahwa konselor itu masih sangat dibutuhkan sehingga seorang pastor pun mau berkhayal menjadi seorang konselor.

 

 

II.          Pastor Bukan Konselor Tapi Sering "Menjadi Konselor"

Seorang pastor memang bukanlah seorang konselor tetapi dalam kenyataan sehari-hari kadang-kadang ia harus "menjadi seorang konselor". Misalnya saja, ketika berhadapan dengan umat atau yang lebih khusus lagi umat yang minta dibimbing olehnya maka mau tidak mau ia harus menjadi pembimbing (konselor) bagi umat tersebut. Pastor adalah seorang imam, rohaniwan atau kaum religius, sedangkan konselor adalah seorang yang membantu konseli untuk menafsirkan fakta berkaitan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian diri yang perlu diusahakan oleh konseli[1]. Konselor dapat pula diartikan sebagai seorang yang berusaha membantu individu untuk semakin lebih tepat memahami dirinya dan cara-caranya bereaksi terhadap pengaruh-pengaruh lingkungannya[2]. Dari pengertian ini nampak jelas perbedaan antara keduanya. Akan tetapi kalau mengamati tugas seorang pastor dalam kehidupan sehari-hari maka ia juga dapat digolongkan sebagai seorang konselor.

Seorang pastor biasa juga disebut sebagai "pembimbing" rohani. Kata pembimbing sebenarnya sudah terbesit di dalamnya tugas seorang konselor. Meskipun ia cenderung ke pembimbingan rohani tetapi bagaimanapun juga ia berhadapan dengan subjek (binimbing atau konseli) yang membutuhkan bantuannya. Oleh karena itu, seorang pastor pun wajib mempelajari teori-teori konseling yang akan membantunya dalam tugas-tugasnya khususnya ketika berhadapan dengan umat.

Salah satu faktor yang sangat-sangat penting yang harus dimiliki dan dihayati oleh seorang pastor adalah kemampuan untuk mendengarkan. Tugas seorang pastor tidak hanya berkhotbah atau menasihati tetapi ia juga harus bisa mendengarkan orang lain. Itulah tugas yang wajib sebagai seorang pembimbing. Kemampuan mendengarkan ada dua jenis yaitu mendengarkan pasif/diam (silence) dan mendengarkan aktif (active listening). Kedua jenis mendengarkan ini merupakan cara menanggapi perasaan seseorang yang lebih konstruktif menurut Dr. Thomas Gordon. Kedua jenis ini adalah bagian dari sarana komunikasi yang efektif dan konstruktif (communication facilitators). Selain kedua hal itu, ada dua hal lain yang merupakan bagian Communication Facilitators yang juga perlu diperhatikan dan dipraktekkan oleh seorang pembimbing yaitu tanggapan pengakuan-penerimaan (acknowledgment responses) baik secara verbal maupun non-verbal dan ajakan untuk melanjutkan (door openers, invitations to talk)[3].

Dari keempat communication facilitators ini yang paling baik dilakukan adalah mendengarkan aktif.  Ketiga fasilitas yang lainnya memang sudah baik tetapi memiliki keterbatasan dan tidak banyak interaksi. Binimbing/konseli (orang lain) tidak tahu apakah ia sudah dimengerti atau belum. Yang dia tahu adalah bahwa ia sudah didengarkan. Sedangkan dalam mendengarkan aktif, penerima/pendengar (pastor) berusaha mengerti perasaan pengirim/pembicara serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian pengertiannya dinyatakan/dirumuskan dalam kalimat dan dikirimkan kembali kepada pengirim (binimbing). Penerima (pastor) tidak mengirimkan pesannya sendiri, seperti penilaian, pendapat, nasihat, analisa, dan pertanyaan. Yang diumpanbalikkan hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan si pengirim (binimbing). Bagian umpan balik dari mendengarkan aktif semata-mata adalah untuk mencocokkan ketepatan si penerima (pastor) dalam mendengarkan. Hal itu juga untuk meyakinkan pengirim behwa ia dimengerti pada saat ia mendengar pesannya "diumpanbalikkan" secara tepat[4].

           

            Menjadi pendengar aktif

Menjadi seorang pendengar aktif tidaklah mudah tetapi butuh latihan yang tekun. Hal ini akan berproses dalam diri kita. Hal yang paling esensial yang perlu dimiliki oleh seorang konselor dalam proses menjadi seorang pendengar aktf yaitu kemampuan memberikan perhatian saat orang lain mengungkapkan perasaannya serta tidak memberi kesan menolak atau meremehkan orang lain. Kemampuan ini perlu juga dilandasi oleh kesabaran. Tanpa kesabaran mendengarkan maka 'mendengarkan aktif' hanyalah angan-angan hampa belaka. Untuk lebih jelas dan lebih rincinya berikut ini diberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pastor (pembimbing)[5]:

1.      "Pendengar aktif" harus mempercayai kemampuan pengirim untuk mengatasi perasaan-perasaannya, dan mencari penyelesaian terhadap masalahnya.

2.      Pendengar harus benar-benar dapat menerima perasaan-perasaan pengirim, apa pun perasaan itu, atau walaupun perasaan itu bertentangan dengan perasaan pendengar.

3.      Pendengar harus sadar bahwa perasaan hanyalah sementara (labil), tidak permanen. Karena itu, ungkapan-ungkapan perasaan tidak perlu ditakutkan; perasaan-perasaan itu tidak akan selamanya berada dalam diri orang yang bersangkutan.

4.      Pendengar harus mau mendengarkan apa yang akan dikatakan pengirim. Ini berarti harus bersedia meluangkan waktu untuk mendengarkan.

5.      Pendengar harus sungguh-sungguh mau menolong pengirim menghadapi masalahnya pada saat yang bersangkutan.

6.      Pendengar harus dapat melihat pengirim sebagai seorang pribadi yang unik, yang terpisah, yang mempunyai kehidupan sendiri, yang memiliki perasaan-perasaannya sendiri.

7.      Pendengar harus sadar bahwa banyak orang jarang dapat langsung mengungkapkan masalah yang sesungguhnya dihadapi.

8.      Pendengar harus menghargai "privacy" pengirim dan menjaga/melindungi rahasianya.

 

Menjadi Decision Making/Problem Solving

Kemampuan mendengarkan aktif akan sangat membantu dalam proses bimbingan karena dengan begitu seorang binimbing atau konseli dapat semakin terbuka untuk mengungkapkan perasaannya (katarsis), merasa diterima sehingga sekalipun perasaan negatif ia tidak takut mengungkapkannya. Hal-hal semacam ini akan mengembangkan hubungan yang hangat antara binimbing dengan pembimbing (pastor) dan dengan demikian akan mempermudah penyelesaian masalah. Dalam hal ini yang menyelesaikan masalah bukan seorang pembimbing/konselor tetapi konseli itu sendiri hanya dibantu oleh pembimbing. Dengan kata lain, pembimbing hanya berusaha memotivasi, memberi semangat, mengarahkan binimbing agar menjadi pribadi yang berkembang seutuhnya dan seoptimal mungkin. Akan tetapi, yang membuat pilihan, rencana dan tindakan penyelesaian adalah konseli itu sendiri. Oleh karena itu, sangat keliru kalau menganggap konselor sebagai problem solving atau decision making. Ia hanya membimbing individu-individu lain agar mereka mampu menjadi decision making/problem solving bagi diri mereka sendiri.

 

            Kesalahpahaman di dalam konseling

Anggapan konselor sebagai decision making/problem solving merupakan suatu anggapan yang keliru. Di sinilah letak kesalahpemahaman banyak orang akan peranan seorang konselor. Akibatnya, banyak orang yang datang ke seorang konselor (pastor) ketika ia memiliki masalah ("sakit") dan berharap setelah bertemu satu dua kali masalahnya akan sembuh. Oleh karena itu, ia menggantungkan masalahnya sepenuhnya pada konselor dan ia tidak mau aktif dalam menyelesaikan masalahnya itu. Padahal, keterlibatan konselilah yang sangat penting khususnya dalam mengungkapkan perasaannya kepada konselor, bukan sebaliknya. Kadang kala konselor dianggap seperti seorang dokter yang akan memberikan resep-resep mujarab kepada konseli sehingga setelah sekali pertemuan konseli mendapatkan resep untuk diikuti di rumah tanpa pertemuan lagi. Memang keberhasilan konseling bukan pada seringnya pertemuan tetapi yang mau diungkapkan di sini bahwa tidak cukup kalau hanya datang sekali lalu meminta resep yang dapat segera menyelesaikan masalahnya. Ini sama sekali keliru. Konseling adalah suatu proses membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal[6]. Akibat lain yang cenderung muncul dari kesalahpemahaman itu adalah seorang individu datang ke konselor sekadar meminta nasihat yang mampu menyelesaikan masalahnya. Ini merupakan suatu tindakan yang sangat pragmatis!

Melihat hal ini, maka akan sangat keliru pula ketika menganggap pastor sebagai pemberi nasihat atau decision making/problem solving. Sayangnya, anggapan inilah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang hanya datang ke pastor ketika menemukan masalah dan sebagainya, dan berharap diselesaikan oleh pastor. Sebenarnya yang harus menyelesaikan masalah adalah pemilik masalah itu sendiri bukan pastor, bukan pula konselor. Yang paling penting dalam Konseling adalah pencegahan masalah seperti yang diungkapkan John D. Krumboltz dalam tulisannya yang berjudul Behavioral Goals For Counseling, The highest priority in the counseling profession should involve the preventive of problems[7].

 

III.       Konsekuensi Pastor, Seorang Konselor 

Pada bagian sebelumnya sudah dipaparkan bagaimana seorang pastor yang sering "menjadi konselor" meskipun ia sesungguhnya bukanlah seorang konselor. Pastor "menjadi konselor"  bukan karena profesinya tetapi karena konsekuensi dari profesinya. Oleh karena itu, "menjadi konselor" juga mempunyai konsekuensi bagi seorang pastor. Konsekuensinya adalah harus mampu mengetahui sekurang-kurangnya sedikit teori tentang konseling dan tindakan-tindakan praktis yang bisa dilakukan ketika berhadapan dengan orang lain. Salah satu konsekuensi dasar yang perlu dimiliki seorang pastor yang "menjadi konselor" yaitu kemampuan mendengarkan aktif ysng sudah dijelaskan sebelumnya. Pada bagian ini akan dijelaskan lagi konsekuensi lain yang dihadapi oleh seorang pastor.

Asas-asas konseling merupakan salah satu hal yang perlu dipahami dan dihayati oleh seorang pastor sebagai konselor. Ada 12 asas konseling yatiu[8]:

No

Asas

Tujuan

1

Kerahasiaan

Menjaga agar data atau keterangan yang diberikan oleh konseli tidak diketahui orang banyak.

2

Kesukarelaan

Agar konseli mengikuti bimbingan tidak dengan paksaan tapi dengan sukarela.

3

Keterbukaan

Agar konseli terbuka dan tidak berpura-pura menerima atau memberi informasi danmateri yang berguna bagi perkembangannya.

4

Kegiatan

Agar konseli berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan  pelayanan/kegiatan Bimbingan Konseling (BK).

5

Kemandirian

Agar konseli bisa mencapai pribadi yang mandiri.

6

Kekinian

Agar obyek sasaran layanan adalah permasalahan konseli dalam masa sekarang.

7

Kedinamisan

Agar konseli selalu memiliki keinginan untuk selalu maju dari waktu ke waktu.

8

Keterpaduan

Agar isi layanan BK antara guru pembimbing maupun pihak lain saling menunjang, harmonis, dan terpadukan.

9

Kenormatifan

Agar segenap layanan didasarkan pada nilai, norma-norma yang ada, agama, dan hukum.

10

Keahlian

Agar layanan BK atas dasar kaidah-kaidah profesional.

11

Alih tangan

Agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan BK segera mengalihkan ke pihak yang lebih ahli.

12

Tutwuri handayani

Agar layanan BK secara keseluruhandapat menciptakan suasana yang memberi rasa aman.

Asas-asas ini akan menjadi ukuran bagi seorang konselor (pastor) ketika berhadapan dengan seorang konseli. Tujuannya agar pastor selalu fokus pada tuntutan-tuntutan dan orientasinya sebagai konselor. Orientasi konselor merupakan konsekuensi lain yang perlu dimiliki oleh seorang pastor agar tujuan bimbingan dapat tercapai. Adapun orientasi seorang konselor yaitu: individual, perkembangan, dan kebutuhan atau masalah. Orientasi individual bertujuan agar individu (konseli) berkembang seutuhnya, seoprimal mungkin sebagai pribadi sesuai denga potensinya. Orientasi perkembangan bertujuan agar masing-masing konseli berkembang sesuai dengan tahap perkembangan pribadinya (tidak boleh melompati tahap perkembangannya karena akan sangat mempengaruhi tahap berikutnya. Orientasi kebutuhan atau masalah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam tahap perkembangan atau mengatasi masalah yang muncul pada tahap itu[9]. Pengetahuan akan teori konseling akan sangat membantu dalam mempraktekkan bimbingan bagi individu lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga seorang pastor perlu juga mengetahui hal sepert ini karena akan sangat mempengaruhi keberhasilan bimbingannya.

 

IV.        Penutup

Di atas sudah dijelaskan bahwa meskipun seorang pastor bukanlah seorang konselor, ia tetap memiliki tugas sebagai konselor. Ini merupkan konsekuensi dari profesinya. Memang bukanlah tugas utamanya tetapi untuk menjadi pembimbing (rohani atau non rohani) yang baik maka perlu melaksanakan tugas bimbingan dengan baik pula. Salah satu hal yang harus diusahakan adalah mempelajari dan menghayati cara-cara bersikap ketika berhadapan dengan seorang konseli. Dalam tulisan ini, penulis menekankan cara yang paling mendasar yang perlu dimiliki oleh seorang pastor dalam tugasnya sebagai "konselor" adalah kemampuan untuk mendengarkan aktif. Kemampuan ini juga mengandaikan kesabaran dan keterampilan. Kemampuan ini tidak serta merta dimiliki tetapi butuh usaha dan latihan. Kemampuan ini adalah suatu proses yang tidak mudah. Oleh karena itu, tugas pertama yang perlu diusahakan oleh seorang pastor sebelum menjalankan tugasnya sebagai seorang konselor adalah melatih diri untuk mendengarkan aktif.

 

 

V.           Sumber Bacaan:

1.      Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A.,  2009,

Hand Out Konseling, (unpublishing).

2.      Gary S. Belkin, 1976,

Counseling: Directions in Theory and Practice, Kendall/Hunt Publishing Company, Dubuque, Iowa.

3.      Pusat Bimbingan Stya Wacana, 1981,

Hubungan Dasar Antar Pribadi (HADAP), Pusat Bimbingan Kristen Satya Wacana, Salatiga.



[1] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Definisi Konseling menurut Smith, 1955 (Hand Out Konseling), 2009, 18.

[2] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Definisi Konseling menurut Blocher, 1974 (Hand Out Konseling), 2009, 18.

[3] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Tanggapan Yang Lebih Konstruktif Menurut Dr. Thomas Gordon  (Hand Out Konseling), 2009, 38.

[4] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Tanggapan Yang Lebih Konstruktif Menurut Dr. Thomas Gordon  (Hand Out Konseling), 2009, 39.

[5] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Tanggapan Yang Lebih Konstruktif Menurut Dr. Thomas Gordon  (Hand Out Konseling), 2009, 42.

[6] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Definisi Bimbingan menurut Sunaryo Kartadinata dkk, 2002:3, (Hand Out Konseling), 2009, 18.

[7] Gary S. Belkin, Counseling: Directions in Theory and Practice, Kendall/Hunt Publishing Company, Dubuque, Iowa 1976, 314.

[8] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Asaa-Asas Bimbingan, (Hand Out Konseling), 2009, 19.

[9] Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., Orientasi Pembimbing, (Hand Out Konseling), 2009, 9.

 

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih tuhan atas keingintahuan yang Engkau karuniakan kepadaku.