Jumat, 04 Juni 2010

Katarsis sebagai salah satu bentuk ungkapan perasaan

TUGAS KURSUS KATEKETIK

FAKULTAS TEOLOGI WEDABHAKTI

19-23 JANUARI 2009

 


KASUS

Sheila adalah seorang anak yang berusia 6 tahun. Ia tinggal berdua bersama ayahnya di sebuah gubuk dengan satu kamar di sebuah perkampungan. Rumahnya sangat sederhana bahkan tidak memiliki berbagai sarana yang urgen seperti pemanas, ledeng, dan listrik. Ibunya menginggalkannya di jalanan ketika ia berusia 4 tahun. Ia mempunyai seorang adik tetapi dibawa serta oleh ibunya. Ketika ia lahir ibunya baru berumur 14 tahun, dua bulan setelah perkawinan paksa. Sedangkan ayahnya sudah berumur 30 tahun. Ayahnya seorang pemabuk dan tak mampu memberinya pengasuhan yang baik.

Sheila menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan berpindah-pindah dari rumah keluarga ibunya sampai akhirnya ia ditinggalkan di tepi jalan oleh ibunya. Situasi itu terpaksa terjadi karena pada saat itu ayahnya dalam penjara atas tuduhan terlibat obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol. Sejak masa kanak-kanaknya, ia sering dianiaya oleh orang tuanya. Di badannya banyak bekas luka dan patah tulang akibat penganiayaan itu. Menurut catatan psikiater, ia memiliki ketidakmampuan kronis untuk menyesuaikan diri dengan masa kanak-kanak.

Sampai saat ini, ia sudah bersekolah di tiga sekolah. Seringnya ia berpindah-pindah merupakan akibat dari perilakunya yang tidak terkendali. Dia tidak memiliki teman di tempat tinggalnya dan tidak akrab dengan orang dewasa. Ia suka menyendiri, memusuhi dan tidak bersahabat. Ia berbicara secara tidak teratur hanya ketika ia marah. Sebenarnya ia sangat jenius karena memiliki IQ di atas 180, namun ia menderita problem emosional yang parah. Di usianya yang masih sangat belia itu ia sudah mahir membaca dan berhitung, kosa katanya pun sudah banyak. Sayangnya, ia tidak pernah menangis, baik di kala sedih, marah maupun kesakitan. Ia juga sering merusakkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Pekerjaannya sendiri, pekerjaan temannya, papan buletin, pajangan seni, kertas soal, dan apa saja. Ayahnya menganggapnya anak yang suka melawan bahkan dianggap sebagai "anak gila" sehingga sering mendisiplinkan dia dengan cara memukul atau mencabut haknya untuk melakukan sesuatu.

Saat ini ia bersekolah di sebuah Sekolah Dasar bersama dengan beberapa murid lainnya. Namun ia jarang sekali mau berbicara apalagi mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya. Ia membenci setiap gurunya. Pada suatu saat, ia mengatakan bahwa gurunya tidak bisa memaksanya untuk berbicara atau mengerjakan tugas. Ia tidak mau diatur dan tidak mau terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Ia sering menjerit dan  mengganggu suasana kelas. Meskipun ia agak agresif dan destruktif namun ia sangat takut pada ayahnya. Semua perintah ayahnya selalu ia ingat dan ia berlakukan di mana pun ia berada sekalipun situasinya berbeda. Misalnya, kalau ia berbuat salah ayahnya akan mencambuknya maka dia juga berpandangan bahwa gurunya pun akan mencambuknya. Ia menganggap semua orang dewasa sama seperti ayahnya. Itulah sebabnya membenci gurunya.

 

SOLUSI

Menurut Sandstrom, C.I., Hurlock, E.B., aspek perkembangan emosi (psikologis) anak pada masa kanak-kanak, kuat dan singkat, kalau emosinya kurang baik maka ia akan ditolak oleh kawan-kawannya. Maka pada masa ini seorang anak belajar mengendalikan emosinya. Persis inilah yang dialami oleh Sheila pada masa kanak-kanaknya. Emosinya tidak terkendali maka dia dijauhi oleh kawan-kawannya. Ketidakmampuan mengendalikan emosinya ini mungkin disebabkan oleh tekanan orang tuanya entah dengan aturan maupun hukuman fisik yang didapatkannya. Ia merasa tidak bebas dan karena itu ia tidak bisa mengeluarkan emosinya secara teratur dan terkendali. Emosi yang terpendam itu akhirnya tertimbun-timbun dan mengendap dalam dirinya sehingga sulit untuk mengeluarkannya ketika ia memasuki masa sekolah Hurlock mengungkapkan bahwa perkembangan emosi pada masa anak sekolah adalah cemburu, iri, takut, cemas, dan lain-lain. Hurlock menambahkan bila anak menemukan katarsis emosional sebaiknya dibimbing untuk menemukan bentuk-bentuk penyaluran emosional yang dapat diterima secara sosial.

Pada kasus Sheila ini perkembangan emosional rasa takut lebih dominan pada dirinya. Pengalaman dianiaya di lingkungan keluarganya membuatnya takut pada orang lain sehingga selalu muncul suatu tindakan destruktif sebagai defence mechanism-nya untuk melindungi dirinya. Menurut L Kohlberg, anak pada usia Shelia memang mengalami perkembangan moral takut hukum dan patuh pada aturan tetapi perlakuan yang dialami oleh Shelia sudah keterlaluan sehingga berdampak negatif pada dirinya. 

Nah kalau demikian bagaimana seharusnya menghadapi anak seperti itu? Bagaimana mendidik anak seperti dia? Sebagai catatan yang tidak bisa dilupakan ketika hendak menghadapi Sheila adalah kemampuannya di atas rata-rata dan masa lalunya yang begitu suram. Dia sebenarnya tahu apa yang kita katakan dan lakukan hanya saja dia tidak mau berbicara karena ia selalu memproyeksikan figur ayahnya dan ibunya kepada semua orang.

Oleh karena itu, menurut saya, hal pertama yang perlu dilakukan terhadapnya adalah menerimanya dan menghargainya sebagaimana anak lainnya. Mungkin dia sulit bsginya karena sudah terbiasa diperlakukan kasar tetapi ini akan membantu perkembangan pribadinya. Yang kedua yang baik dilakukan adalah membiarkan dia menyesuaikan diri dengan keadaan dan jangan memaksa dia untuk melakukan suatu hal atau membebaninya dengan bebagai aturan yang sulit. Dia harus mengalami kebebasan di sekolah yang berbeda dari rumahnya agar sekolah (kelas) menjadi "home" baginya. Kalau dia memang belum mau melakukan apa yang diperintahkan biarkan saja toh dia anak yang pandai jadi tidak perlu takut ketinggalan materi. Yang penting juga untuk diperhatikan adalah dia anak yang destruktif maka sebaiknya dia dijauhkan dari anak-anak yang lain agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan. Namun tidak boleh terkesan bahwa dia tidak diterima atau tidak dianggap keberadaannya. Untuk melakukan hal ini, kita harus menjelaskan dengan baik kepadanya bahwa kalau dia memang belum mau mengikuti kegiatan belajar maka sebaiknya dia duduk di belakang atau di depan sambil memperhatikan teman-temannya yang lain. Nanti kalau dia sudah siap baru bergabung dengan teman-teman yang lain.

Menghadapi anak seperti Sheila tidak perlu melakukan kekerasan sebaliknya dia harus disapa dengan lembut, tenang dan ramah. Mungkin awalnya dia tidak akan bereaksi atau malah bereaksi negatif tetapi suatu saat dia pasti akan berubah. Dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian khusus dari seorang guru. Kita harus berusaha membuktikan kepadanya bahwa apa yang kita lakukan bukan untuk menyakitinya tetapi justru untuk mencintainya. Dia pasti sangat trauma dengan sikap ayah dan ibunya. Mungkin baik juga kalau dilakukan pendekatan personal dengan orang tuanya dan mengatakan ayahnya di depan Sheila bahwa dia anak yang baik dan taat. Dia harus selalu dibesarkan hatinya, dihibur dan dipuji.

Yang terakhir yang bisa dilakukan menurut saya adalah mengajaknya untuk melakukan katarsis. Mungkin bisa dilakukan dengan mengajaknya menulis puisi tentang bagaimana perasaanku, atau menuliskan perasaan-perasaan dalam sebuah buku diary (karena dia sudah mahir membaca dan menulis), atau mungkin lewat permainan yang membutuhkan ekspresi yang membebaskan, dan sebagainya. Namun hal ini bisa dilakukan kalau dia sudah mau mengikuti kegiatan yang kita lakukan. Yang terpenting untuk menciptakan pribadi Sheila yang sehat menurut Rogers adalah menerimanya dan menghargai dirinya tanpa syarat (unconditional positive regard).

Semoga dapat membantu, terima kasih!!!

Antonius Pabendon (3104)

 

Anging Mammiri, Rabu, 04 Februari 2009

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih tuhan atas keingintahuan yang Engkau karuniakan kepadaku.