BAB III
MAKNA PANGGILAN MENJADI “PENJALA MANUSIA”
3.1
Pengantar
Menjadi “penjala manusia” merupakan panggilan Simon dan
teman-temannya yang dikisahkan dalam Luk 5:1-11. Panggilan itu sekaligus
menjadi tugas perutusan mereka. Pekerjaan mereka yang semula menjala ikan
diubah menjadi “menjala manusia” lewat panggilan di pantai danau Genesaret. Panggilan
inilah yang kemudian menjadi alasan kebersamaan Yesus dan para murid-Nya. Yesus
ingin agar melalui kebersamaan dengan-Nya, para murid belajar menjadi “penjala
manusia” sebab untuk itulah mereka akan diutus kelak. Dengan kata lain,
“menjala manusia” merupakan panggilan perutusan para murid[1].
Persoalannya adalah apa arti “menjala manusia”? Apakah sama artinya dengan
menjala ikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Simon dan teman-temannya?
“Menjala manusia” adalah suatu metafora maka itu perlu
ditafsirkan dalam keseluruhan kisah agar maknanya dapat dipahami. Oleh karena
itu, pada bab ini kita akan menafsirkan teks Luk 5:1-11, terutama makna
panggilan “menjala manusia”. Penafsiran ini akan didahului oleh konteks
panggilan dalam kisah itu agar membantu kita memahami makna panggilan itu dan
diakhiri oleh beberapa refleksi atas teks yang telah ditafsirkan itu.
3.2
Konteks Panggilan Dalam Luk 5:1-11
Panggilan dalam
teks Luk 5:1-11 ini secara umum ditempatkan dalam kisah pelayanan Yesus di
Galilea dan secara khusus ditempatkan dalam pengajaran (bdk. ay. 1-3) dan
mukjizat (bdk. ay. 4-10a) yang dilakukan Yesus di pantai danau Genesaret.
Beberapa ahli, seperti Plummer, G. Klein, C. Stuhlmueller, dan R. Bultmann
berpendapat bahwa kisah panggilan Luk 5:1-11 itu merupakan hasil penggabungan
dari dua sumber, yakni materi Markus (bdk. ay. 1-3 dan 10b-11) dan sumber khas
Lukas “L” (bdk. ay. 4-10a). Bahkan, ada hipotesa bahwa kisah mukjizat yang
mempersiapkan panggilan dalam kisah itu adalah peristiwa yang terjadi setelah
kebangkitan Yesus yang ditempatkan pada kisah pelayanan Yesus yang historis[2].
Salah satu alasan
yang menyatakan bahwa kisah itu aslinya dari kisah setelah kebangkitan
yang ditempatkan pada pelayanan Yesus adalah reaksi Simon Petrus pada ayat 8,
dengan menyebut Yesus sebagai “Tuhan”, dan menganggap dirinya sebagai
“pendosa”. Reaksi semacam ini justru menimbulkan pertanyaan, mengapa Simon
mengakui ketidakpantasannya di hadapan Tuhan? Lalu mengapa ia menyebut Yesus
sebagai “Tuhan”? Bukankah lebih masuk akal kalau reaksi Simon berupa ucapan
syukur atas mukjizat yang telah dialaminya? Fitzmyer mengungkapkan bahwa reaksi
Simon saat itu lebih masuk akal bila ditunjukkan oleh seorang yang telah
menyangkal Tuhannya[3]. Berdasarkan
hal itu maka mukjizat itu bisa dianggap sebagai kisah yang terjadi setelah
kebangkitan Yesus[4].
Oleh karena itu, reaksinya setelah menyaksikan mukjizat itu berupa rasa
bersalah (“pendosa”) atas apa yang telah dilakukannya. Reaksi itu ditempatkan
pada kisah sebelum kebangkitan maka tampak aneh dalam sebuah mukjizat
penangkapan ikan yang menggembirakan. Namun, mengapa Lukas menghubungkan kisah
mukjizat itu dengan panggilan Simon dan teman-temannya dan menempatkannya dalam
pelayanan Yesus yang historis? Terlepas dari latar belakang bagian-bagian dalam
kisah panggilan itu, tentu saja keputusan Lukas menggabungkan bagian-bagian itu
memiliki pesan tertentu berhubungan dengan panggilan para murid yang kiranya
bisa dipahami melalui penafsiran atas kisahnya tersebut.
Kisah panggilan dalam Luk 5:1-11 berbeda dengan kisah
yang terdapat dalam Mrk 1:16-20 (atau Mat 4:18-22) meskipun Lukas mengambil sebagian
bahannya dari Markus. Perbedaan itu tampak dalam isi, susunan, bahkan bahasa
yang digunakan Lukas, khususnya pernyataan panggilan dari Yesus yang merupakan
maksud panggilan dalam kisah itu[5].
Panggilan dalam Markus terjadi secara langsung, tanpa ilustrasi pengajaran dan
mukjizat serta berlangsung begitu cepat. Yesus melintas dan langsung memanggil
para nelayan yang telah menjala ikan, dengan perintah, “Mari, ikutlah Aku, dan
kamu akan Kujadikan penjala manusia”.
Sementara itu, panggilan dalam Lukas merupakan suatu
proses yang terjadi berangsur-angsur mulai dari mendengar pengajaran Yesus,
menyaksikan tindakan-Nya, menyadari keagungan-Nya (kekaguman), sebaliknya,
merasa tidak pantas di hadapan-Nya (pertobatan), dan akhirnya memutuskan untuk
meninggalkan segala sesuatu demi mengikuti Yesus[6].
Lukas juga mengubah panggilan dalam Markus yang merupakan ajakan atau perintah
langsung Yesus atas para nelayan itu untuk mengikuti-Nya menjadi sebuah
pernyataan, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia”[7].
Oleh karena itu, sulit menentukan apakah itu panggilan Yesus mencari
pengikut-Nya atau hanya berupa ungkapan biasa. Tanda bahwa para penjala ikan
itu sungguh menjadi murid baru tampak secara nyata pada akhir kisah, yakni
ketika mereka meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus[8].
Maka, tampak di sini bahwa panggilan itu berproses. Lukas mengisahkan Yesus
yang melalui pengajaran dan tindakan-Nya menyentuh hati orang banyak, khususnya
para nelayan sehingga menyadari kerahiman Tuhan dan tergerak untuk
mengikuti-Nya.
3.3
Pembahasan Kisah Luk 5:1-11
Kisah panggilan menjadi “penjala manusia” (bdk. Luk
5:1-11) terbagi atas tiga bagian, antara lain: kisah tentang pengajaran Yesus
di pantai (bdk. ay. 1-3); kisah mukjizat penangkapan ikan (bdk. ay. 4-7); dan reaksi
Simon dan kisah panggilan para penjala ikan (bdk. ay. 8-11)[9].
Meskipun dibagi dalam tiga bagian, yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang
lainnya sebab ketiganya saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan kisah.
Bagian pertama menjadi introduksi karena menjelaskan latar belakang dan setting
kisah. Bagian kedua merupakan bagian persiapan panggilan melalui mukjizat yang
dialami Simon dan teman-temannya serta melalui dialog antara Yesus dan Simon.
Sedangkan bagian ketiga yang menjadi inti kisah itu merupakan kisah panggilan
itu sendiri[10].
Fungsi dan peranan masing-masing bagian ini memperlihatkan adanya kesinambungan
di antara ketiganya yang membentuk suatu kisah panggilan. Berikut ini kita akan
membaca dan mengulas bagian per bagian.
3.3.1 Kisah
Pengajaran Yesus di Pantai (bdk. ay. 1-3)
1Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret,
sementara orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. 2Ia
melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang
membasuh jalanya. 3Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu
perahu Simon, dan menyuruh dia mendorong perahunya sedikit jauh dari pantai.
Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.
Bagian ini merupakan bagian awal kisah panggilan yang dilukiskan Lukas. Bagian ini
menjadi gambaran situasi di mana Yesus mengajar, melakukan mukjizat, dan
menyatakan panggilan-Nya kepada Simon dan teman-temannya. Pada bagian ini
dikisahkan tentang Yesus yang sedang mengajar orang banyak dari atas perahu
Simon di pantai danau Genesaret.
Peristiwa itu terjadi di pantai danau Genesaret. Danau
Genesaret merupakan nama lain dari danau Galilea (bdk. Mat 4:18; Mrk 1:16).
Selain itu, danau ini juga biasa disebut Laut Tiberias (bdk. Yoh 6:1; 21:1).
Dalam Perjanjian Lama, danau ini disebut Kineret (bdk. Bil 34:11) atau Kinerot
(bdk. Yos 12:3; 13:27)[11]. Danau itu berukuran panjang 13 mil, lebar 7,5 mil, dan
680 kaki di bawah permukaan laut. Airnya cukup sejuk dan segar serta di
sekitarnya terdapat gunung-gunung yang tertutup salju[12].
Yesus mengajar di danau (di luar rumah ibadat) untuk pertama kalinya terjadi di
sini. Mengapa Yesus memilih danau? Hal ini kiranya dapat dipahami dengan
mengamati pendapat H. Conzelmann yang mengakui bahwa “danau” sama seperti
“gunung” memiliki makna teologis yang khusus. Tempat itu merupakan tempat
favorit untuk berkomunikasi dengan Allah Bapa (dalam Lukas) maka “danau”
menggambarkan suatu tempat manifestasi/perwujudan kekuatan Allah[13].
Sementara itu,
waktu terjadinya peristiwa itu tidak diungkapkan dalam teks. Keterangan waktu
yang digunakan pada ayat 1, yakni “pada suatu kali” tidak bisa menjadi petunjuk
kapan persisnya peristiwa itu terjadi. Keterangan itu merupakan salah satu
ungkapan gaya penulisan Kitab Suci terjemahan Yunani (Septuaginta, XXL)[14].
Selain itu, keterangan “pada suatu kali” juga berfungsi naratif, yakni sebagai
penanda yang menandakan dimulainya suatu paragraf baru (khususnya dalam
penulisan tanpa paragraf dan tanda-tanda baca)[15].
Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa peristiwa itu terjadi (yang hanya
diterangkan dengan “pada suatu kali”) pada pagi atau menjelang siang hari[16].
Kesimpulan ini bisa dijelaskan dengan mengamati keterangan ayat 3 dan 5. Pada
ayat 2 dilukiskan bahwa para nelayan telah menjala dan sekarang mereka sedang membasuh jalanya. Sementara pada
ayat 5 Simon mengatakan bahwa mereka telah bekerja keras semalaman. Itu
berarti mereka menjala ikan pada malam hari dan kiranya itulah waktu yang
paling tepat untuk menjala ikan[17].
Kalau para nelayan itu telah menjala ikan maka peristiwa itu hampir
pasti terjadi pada pagi hari atau menjelang tengah hari.
Selain Yesus, di tempat itu
ada juga beberapa tokoh lain, yaitu orang banyak, dan para nelayan. Dalam ayat
1 diungkapkan bahwa orang banyak berada di sekitar Yesus dan mengerumuni-Nya.
Siapakah orang banyak ini dan untuk apa mereka mengerumuni Yesus? Orang
banyak yang mengerumuni
Yesus adalah orang-orang atau masyarakat umum (Yunani: okhlos) yang bersikap positif terhadap Yesus sampai saat terakhir
hidup-Nya[18].
Kemungkinan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sebelumnya merasa
kagum setelah mendengarkan pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah dalam rumah
ibadat (bdk. Luk 4:14-22). Tujuan kedatangan orang banyak di sekitar Yesus
adalah mendengarkan firman Allah. Menarik bahwa istilah yang digunakan
Lukas untuk menyebut pengajaran Yesus adalah firman Allah. Istilah ini
untuk pertama kali digunakan oleh Lukas dalam injilnya, meskipun sebelumnya ia
telah menyinggungnya (bdk. Luk 1:2). Pada pasal sebeumnya (Luk 4), Lukas juga
beberapa kali menyinggung sabda Yesus tetapi tidak pernah menyebutnya sebagai
sabda Allah (bdk. Luk 4:22.32.36.43-44)[19].
Kalau firman Allah merupakan pengajaran (kata-kata) Yesus sendiri maka
istilah ini kiranya menunjukkan dimensi keilahian Yesus. F. Bovon mengungkapkan
bahwa ungkapan “sabda Allah” di sini menunjuk pada tindakan pewartaan Yesus
sebagai utusan Allah atau Allah berbicara melalui Dia[20].
Dalam kisah ini digambarkan bahwa Simon sampai pada kesadaran akan hal itu[21].
Di pantai itu terdapat dua perahu nelayan yang
baru saja digunakan menjala ikan (bdk. ay. 5). Penyebutan dua perahu dalam
kisah ini mempersiapkan cerita tentang keajaiban yang dikisahkan dalam ayat 6
dan catatan tentang hampir tenggelamnya perahu dalam ayat 7[22].
Dengan demikian kehadiran teman-teman Simon dalam kisah selanjutnya dapat
dipahami karena dengan menyebutkan dua perahu, kehadiran mereka telah
diandaikan pada ayat ini.
Nelayan-nelayan ikan itu telah turun dari atas perahu dan
sekarang sedang membasuh jala mereka yang digunakan untuk
menangkap ikan. Turun dari atas perahu dan membasuh jala mengungkapkan
bahwa para nelayan itu telah menjala ikan dan sekarang membereskan jala yang
telah digunakan tersebut. Betapa kecewa dan sedihnya para nelayan itu karena
mereka telah bekerja keras semalaman tetapi tidak membuahkan hasil sedikit pun.
Begitulah situasi yang dialami oleh para nelayan.
Dalam situasi seperti itu, Yesus datang mendekati salah
satu perahu itu, yakni perahu Simon lalu Ia naik ke atasnya (bdk. ay. 3). Setelah
itu, Yesus meminta Simon, pemilik perahu itu, agar mendorong perahunya sedikit
menjauh dari pantai. Yesus duduk di atas perahu Simon dan mengajar orang banyak
dari sana. Menurut F. Bovon, posisi duduk menunjukkan dua arti, yang mana
keduanya tepat, yakni secara teologis dan secara naratif. Secara teologis,
posisi itu menunjukkan posisi seorang pengkhotbah (pengajar), sementara itu,
secara naratif sangat masuk akal karena seseorang hanya mungkin bertahan cukup
lama di atas sebuah perahu apabila ia duduk[23].
Oleh karena itu, melalui gambaran Yesus yang duduk mengajar dari atas perahu, Yesus
ditampilkan sebagai seorang guru bijaksana yang mengajar dan mewartakan Injil
Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:43). Inilah perjumpaan pertama antara para nelayan
itu, terutama Simon, dengan Yesus dalam kisah itu.
Melihat tindakan Yesus dalam kisah itu, muncul
pertanyaan, apa maksud Yesus memilih perahu Simon? Apakah itu hanya sebuah
kebetulan atau Yesus memiliki maksud tertentu dari pemilihan itu? Lalu mengapa
Yesus harus menarik diri dari keramaian, naik ke perahu Simon, dan menyuruh
Simon mendorong perahunya sedikit lebih dalam? Pemilihan perahu Simon tampaknya
bukan hanya sebuah kebetulan tetapi mengandung maksud tertentu. Dengan
dipilihnya perahu Simon, ditegaskan bahwa ia memang dipilih untuk berperan
utama (pemimpin) dalam kelompok pengikut-pengikut Yesus[24].
Hal ini dapat diamati dalam kisah-kisah kebersamaan Yesus dengan para murid-Nya
(bdk. Luk 5: 5.8; 6:14; 8:51; 9:18-21.33; 18:28; Mat 16:18). Lebih jauh, G.W.H.
Lampe menyatakan bahwa dalam kisah (khususnya kisah pemilihan perahu Simon),
Simon dipilih untuk menjadi pemimpin misi universal (bdk. Kis 2-5; 10:15)[25].
Selain menegaskan peranan Simon, tindakan Yesus itu juga
menunjukkan strategi-Nya dalam mewartakan injil Kerajaan Allah dan sekaligus
menunjukkan bahwa Ia adalah seorang Pewarta Injil. Dengan menarik diri dan naik
ke atas perahu untuk mengajar orang banyak, Yesus sebenarnya telah
mempraktekkan suatu cara pengajaran (pewartaan) yang sangat baik. Ia sadar
bahwa dengan naik ke atas perahu dan masuk ke dalam danau sedikit jauh lalu
mengajar dari situ, suara-Nya akan didengarkan oleh pendengar-Nya (orang
banyak) yang ada di darat karena angin bertiup ke arah darat pada saat itu. Hal
ini menunjukkan bahwa Ia adalah seorang guru (pengajar) yang sangat bijaksana,
kreatif, dan peka terhadap lingkungan sekitar serta mampu beradaptasi dengan
lingkungan dalam mewartakan sabda dan karya-Nya (bdk. Luk 8:4-15; 13:18-21;
15:1-7).
3.3.2 Mukjizat
Penangkapan Ikan (bdk. ay. 4-7)
4Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon:
“Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”
5Simon menjawab, “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan
kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena perkataan-Mu itu, aku akan
menebarkan jala juga.” 6Setelah mereka melakukannya, mereka
menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. 7Lalu
mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka
datang membantunya. Mereka pun datang, lalu bersama-sama mengisi kedua perahu
itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.
Bagian kedua ini yang mengisahkan mukjizat penangkapan ikan
merupakan bagian persiapan atas panggilan Simon dan teman-temannya. Setelah
Yesus menyentuh pikiran dan pendengaran orang banyak (melalui pengajaran), kini
Ia ingin menyentuh hati dan penglihatan mereka (melalui tindakan mukjizat) agar
mereka mau mengikuti-Nya dengan tulus. Pada bagian ini dikisahkan bahwa setelah
Yesus mengajar orang banyak itu, sekali lagi Ia menyuruh Simon, tetapi permintaan-Nya
ini bukan sekadar mendorong perahu lebih jauh ke dalam. Lebih dari itu, Ia
meminta Simon bertolak ke tempat dalam dan menebarkan jalanya untuk
menangkap ikan. Dalam teks asli, perintah untuk bertolak ditujukan kepada
Simon saja (bertolaklah engkau), namun bagian kedua perintah-Nya
(tebarkanlah jala kalian) mengandaikan adanya orang lain dalam
perahu Simon[26].
Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan orang lain yang ada dalam perahu Simon.
Namun, kemungkinan orang yang diandaikan ini adalah Andreas, saudara Simon
(bdk. Luk 6:14; Mat 4:18; Mrk 1:16)[27]. G.W.H. Lampe
menyimpulkan dari ayat ini bahwa Simon berperan sebagai kapten (pemimpin) kapal[28]. Dengan demikian, tidak
mengherankan bahwa Simon lebih ditonjolkan daripada teman kerjanya (saudaranya,
Andreas?) sebab seorang kapten selalu menjadi perwakilan dari suatu kelompok
tertentu.
Permintaan Yesus ini menjadi ujian akan iman Simon kepada Yesus. Menanggapi
permintaan Yesus (pada ayat 4), Simon memberikan jawabannya pada ayat 5. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap
apa-apa, tetapi karena
perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala juga”. Pada jawabannya ini,
Simon memanggil Yesus sebagai “Guru” (“Master” atau “Epistata” menggantikan
“Rabbi” ). Gelar Yesus sebagai “Guru” (Epistata) merupakan khas
Lukas sebab hanya ada dalam Lukas (bdk. Luk 8:24.45; 9:33.49; 17:13)[29].
Gelar Yesus yang digunakan oleh Simon sebelum mukjizat ini akan berubah setelah
ia mengalami mukjizat. Ia tidak lagi memandang Yesus lagi sebagai “Guru” tetapi
lebih dari itu, yakni sebagai “Tuhan”.
Jawaban Simon ini dapat dibagi dua, yakni: “(Guru), telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami
tidak menangkap apa-apa,” (bagian
pertama) dan “tetapi karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala juga”
(bagian kedua). F. Bovon menyebutkan bahwa jawaban Simon ini kedengaran
meragukan. Di satu sisi, jawaban itu seperti jawaban seorang penjala ikan namun
di sisi lain, seperti jawaban seorang murid[30].
I. Howard Marshall juga mengatakan bahwa panggilan Simon kepada Yesus sebagai
“Guru” (Epistata) merupakan panggilan yang hanya digunakan oleh seorang
murid atau murid yang dekat kepada Gurunya[31].
Oleh karena itu, dengan menghubungkan kedua pendapat ini dengan pembagian di
atas, jawaban Simon sebagai seorang penjala ikan dapat digolongkan sebagai
jawaban pertamanya (bagian pertama) sedangkan jawabannya sebagai seorang murid
dapat digolongkan sebagai jawaban keduanya (bagian kedua).
Apa maksud Simon
pada bagian pertama? Apakah jawaban itu adalah sebuah keluhan kepada Yesus atau
sebuah penolakan atas perintah Yesus sebab ia meragukan efektivitas perintah
itu? Kalau reaksi Simon setelah mengalami mukjizat, yakni merasa berdosa dan
meminta agar Yesus pergi dari padanya diperhatikan (bdk. ay. 8) maka
kemungkinan jawaban ini adalah bentuk penolakan atau keraguan atas perintah
Yesus. Dengan kata lain, reaksi spontan Simon atas permintaan Yesus yang aneh
adalah ketidakpercayaan atau keraguan. Dasar keraguan Simon adalah pengalaman
kerja keras mereka sepanjang malam yang tidak menghasilkan apa-apa. Pengalaman
semalam yang tidak menghasilkan apa-apa menghilangkan visi atau idealisme Simon
dan teman-temannya, serta membuat mereka terbawa situasi[32].
Kiranya ketidakpercayaan atau keraguan inilah yang menjadi gambaran rasa
bersalah atau berdosa yang diakui Simon pada dialog selanjutnya (bdk. ay. 8).
Dengan demikian, jawaban Simon pada bagian pertama
merupakan jawaban sinis yang meragukan perintah Yesus. Namun, mengapa Simon
meragukan perintah Yesus? Bukankah ia pernah menyaksikan Yesus menyembuhkan ibu
mertuanya? Tidak cukupkah itu untuk meyakinkannya bahwa Yesus dapat melakukan
apa saja meskipun itu tidak mungkin bagi orang lain? Tampaknya perjumpaan Simon
dengan Yesus sebelumnya belum cukup meyakinkan bahwa Yesus berkuasa atas apa saja
dan bisa melakukan apa saja. Sebagai seorang nelayan, Simon tentu tahu kapan
dan di mana tempat yang tepat untuk menangkap ikan, dan ia telah melakukannya
semalam. Tetapi Yesus, seorang tukang kayu, datang memintanya menangkap ikan di
pagi/siang hari (bukan waktu yang tepat). Tentu saja sebagai seorang nelayan
yang berpengalaman seperti Simon, akan menganggap permintaan ini sebagai
sesuatu yang tidak masuk akal, maka patut diragukan[33].
Pada bagian kedua Simon menjawab, “[....]tetapi karena perkataan-Mu itu, aku
akan menebarkan jala juga.” Apa
maksud kata-kata Simon ini? Penggunaan kata sambung “tetapi” pada jawaban Simon
menunjukkan dua hal yang saling berlawanan. Dari rumusan itu dapat dikatakan
bahwa sebenarnya Simon menolak untuk bertolak ke tempat dalam dan menebarkan
jala di sana, “tetapi” karena Yesus yang memintanya maka dia akan melakukannya
juga. Hal ini menunjukkan bahwa di balik keraguan Simon masih ada
kepercayaannya pada Yesus dan kepercayaan itu lebih besar daripada keraguannya.
Dengan kata lain, meskipun perintah Yesus tidak sesuai dengan keinginan dan
rencananya, Simon tetap menunjukkan (sikap) ketaatannya pada Yesus[34].
Jawaban Simon ini menggambarkan pergulatan imannya kepada Yesus: dari keraguan
atau ketidakpercayaan tumbuh sebersit harapan dan kepercayaan -yang lebih besar
daripada ketidakpercayaannya- kepada Yesus[35].
Kiranya kepercayaan Simon itu tumbuh dari pengalaman perjumpaannya dengan Yesus
sebelumnya, yakni ketika menyaksikan ibu mertuanya disembuhkan oleh Yesus dan
setelah mendengarkan pengajaran Yesus dari atas perahunya yang baru saja
terjadi. Keputusan Simon mengambil risiko ini menunjukkan sikap batinnya. Ia
adalah seorang yang tidak amat mudah percaya kepada hal-hal yang tidak masuk
akal kendatipun demikian, ia berani mengambil risiko sebab kepercayaannya
kepada Yesus. Sikap Simon ini menunjukkan suatu perubahan cara pandang dan
keyakinan iman.
Ayat 6-7 mengungkapkan buah kepercayaan Simon. Pada kedua
ayat ini dilukiskan bahwa Simon dan temannya (“mereka”) menangkap sejumlah
besar ikan. Begitu banyaknya ikan yang mereka tangkap hingga jala mereka mulai
koyak[36].
Mereka tidak mampu mengatasi tangkapan mereka yang begitu banyak. Maka, mereka
memberi isyarat kepada teman-teman mereka yang ada di perahu lain supaya datang
membantu mereka. Dengan bantuan teman-teman mereka itu, akhirnya ikan hasil
tangkapan itu dapat dinaikkan ke dalam kedua perahu itu, meskipun hampir
tenggelam.
Kata ganti “mereka” yang digunakan pada ayat 6 dan ayat 7
semakin menegaskan bahwa Simon tidak sendirian di atas perahu (bdk. perintah
Yesus untuk menebarkan jala pada ayat 4). Pada ayat 7 ditunjukkan juga
antisipasi yang disebutkan pada ayat 2, yakni tentang “dua perahu”. Jelas yang
dimaksud dengan “teman-temannya di perahu yang lain” adalah perahu yang
tersisa, milik Yohanes dan Yakobus.
Peristiwa mukjizat yang baru saja dialami oleh para
nelayan mempersiapkan panggilan mereka. Peristiwa itu menjadi semacam pengantar
bagi keputusan mereka untuk mengikuti Yesus yang akan diungkapkan pada bagian
akhir kisah ini. Inilah salah satu alasan bagi para nelayan itu untuk
meninggalkan segala sesuatu demi mengikuti Yesus dan menjadi “penjala manusia”.
3.3.3 Reaksi
Simon dan Kisah Panggilan Para Penjala Ikan (bdk. ay. 8-11)
8Ketika Simon Petrus melihat hal itu, ia pun sujud di depan
Yesus dan berkata, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini orang berdosa.”
9Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh
karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; 10demikian juga Yakobus
dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada
Simon, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” 11Sesudah
menarik perahu-perahu ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu
mengikut Yesus.
Bagian ketiga ini merupakan bagian inti dari Luk 5:1-11.
Pada bagian inilah pernyataan panggilan menjadi “penjala manusia” diungkapkan
(bdk. ay. 10b). Maka, makna panggilan menjadi “penjala manusia” yang sudah
digambarkan dan dipersiapkan pada dua bagian sebelumnya akan dipahami pada
bagian ini. Secara umum bagian ini dapat dikatakan sebagai reaksi Simon Petrus[37]
atas mukjizat yang baru saja dialaminya serta kisah pemanggilan Simon dan
teman-temannya. Simon takjub dan heran melihat hasil yang mereka dapatkan. Ini
merupakan pengalaman yang tak terlupakan baginya karena semalaman mereka telah
bekerja keras tetapi mereka sama sekali tidak menangkap ikan padahal malam hari
adalah waktu yang tepat untuk menangkap ikan[38].
Namun, sekarang dengan mudahnya mereka bisa menangkap ikan begitu banyak hingga
jala mereka koyak dan perahu mereka hampir tenggelam meskipun bukan waktu yang
tepat untuk menangkap ikan. Bagi Simon, ini adalah sesuatu yang sangat luar
biasa dan pasti ini terjadi karena Yesus yang memerintahkannya. Perasaan itu
membuatnya merasa begitu kecil, tak berdaya, dan berdosa di hadapan Yesus
karena sebelumnya telah meragukan-Nya. Ia insaf bahwa Yesus itu bukan hanya
orang biasa, tetapi seseorang yang mempunyai hubungan dengan dunia lain, dengan
apa yang kudus, dengan Tuhan Allah[39].
Sementara itu, kontak dengan yang kudus adalah berbahaya untuk orang berdosa
(bdk. Yes 6:1-7)[40].
Ia datang dan sujud di hadapan Yesus. Sujud merupakan suatu bentuk penyembahan
atau penghormatan yang mendalam. Biasanya sembah sujud dilakukan di hadapan
yang memiliki kuasa. Maka, dengan bersembah sujud di hadapan Yesus dan menyebut
Yesus sebagai “Tuhan”, Simon merefleksikan ketakutan atau kekhawatirannya di
hadapan kehadiran “Tuhan” yang mahakuasa (Yesus)[41].
“Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku
ini orang berdosa.” Ini adalah kata-kata yang keluar dari mulut Simon
setelah menyaksikan banyaknya ikan yang mereka tangkap. Apakah maksud Simon
mengatakan demikian? Mengapa ia meminta Yesus yang dipanggilnya “Tuhan” pergi
dari padanya? Kata-kata Simon ini didasari oleh rasa ketidakpantasannya di
hadapan Tuhan. Simon memandang dirinya berdosa sehingga ia merasa tidak pantas
berada di dekat yang kudus dan yang ilahi, seperti Yesus. Kiranya perasaan ini
pulalah yang mendorong Simon untuk mengganti sebutan Yesus dari “guru” menjadi
“Tuhan” (bdk. ay. 5 dan ay. 8)[42].
Kalau jawaban Yesus pada ayat 10b diperhatikan,
kemungkinan jawaban Simon itu tidak hanya mengungkapkan rasa ketidakpantasannya
tetapi hal itu juga merupakan ungkapan atau teriakan kebingungan dan
ketakutannya (bdk. Yes 6:5; Hak 13:22), sekaligus pengakuan salah dan pengakuan
percaya yang melebihi perkataannya pada ayat 5 tadi[43].
Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan Simon (rasa bersalah sekaligus percaya)
tumbuh bukan karena sebuah ancaman atau pemaksaan yang dilakukan Yesus
melainkan karena ia telah mengalami kebajikan dan karunia (mukjizat) Yesus. Inilah
suatu bentuk pewartaan Yesus mencari pengikut-Nya[44].
Ayat 9 adalah penjelasan tentang alasan ketidakpantasan
Simon. “[....]karena Simon dan semua
orang yang bersama-sama dengan dia takjub [....]demikian juga Yakobus
dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon.” Rupanya
bukan hanya Simon melainkan semua orang yang bersama-sama dengan dia pun merasa
takjub menyaksikan banyaknya ikan yang mereka tangkap. Maka, sangat mungkin bahwa
ketidakpantasan yang dirasakan oleh Simon dalam suasana seperti itu juga
dirasakan oleh semua orang yang ada bersama dengan dia. Yang menarik pada ayat
ini adalah penyebutan nama Yakobus dan
Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Mengapa nama Yakobus dan
Yohanes masih disebutkan lagi? Bukankah mereka sudah termasuk dengan semua orang yang ada bersama dia (Simon)? Meskipun dalam keseluruhan kisah ini
Yakobus dan Yohanes kurang mendapat perhatian bila dibandingkan dengan Simon[45], namun
penyebutan ini kiranya menekankan peranan Yakobus dan Yohanes yang nantinya
menjadi pengikut Yesus juga.
Menanggapi
reaksi Simon dan semua orang di situ, Yesus berkata kepada Simon, “Jangan
takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia” (bdk. ay. 10b). Kata-kata
Yesus ini merupakan suatu bentuk peneguhan atas pengalaman tremendum et
fascinosum Simon dan semua orang di situ, sekaligus menjadi panggilan Simon
dan teman-temannya. Yesus mengingatkan Simon agar tenang dan tidak perlu takut
menyaksikan kasih karunia Allah yang mengagumkan karena mulai sekarang ia akan
“menjala manusia”. Itulah janji sekaligus maksud panggilan Yesus kepada Simon
yang dilukiskan dalam kisah ini.
Akhirnya,
panggilan Yesus ini berdampak positif, bukan hanya kepada Simon tetapi
juga kepada teman-temannya. Meskipun perintah untuk menjala manusia ditujukan
hanya kepada Simon, tetapi pada kenyataannya hal itu juga ditujukan bagi
teman-temannya yang meninggalkan segala sesuatu untuk menjadi murid Yesus[46].
“Sesudah menarik perahu-perahu ke darat, mereka pun meninggalkan
segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.” Kesaksian hidup Yesus lewat kata-kata
serta tindakan-Nya yang dialami para nelayan itu sungguh memiliki daya sehingga
mampu menenangkan sekaligus memberi keberanian kepada mereka untuk meninggalkan
segala sesuatu untuk mengikuti-Nya. Meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti
seorang asing merupakan suatu keputusan yang luar biasa dan penuh risiko. Namun
para nelayan itu seakan-akan tidak peduli akan risiko itu. Mengapa? Mereka
kagum sekaligus yakin pada Yesus: pada pengajaran-Nya (bdk. ay. 1-3),
mukjizat-Nya (bdk. ay. 4-7), dan panggilan-Nya (bdk. ay. 8-11). Kekaguman dan
keyakinan mereka inilah yang memberanikan mereka mengambil keputusan yang berat
sekaligus menantang untuk mewujudkan pernyataan panggilan Yesus kepada Simon,
yakni “menjala manusia” (bdk. ay. 10b). Maka, tugas seorang pengikut Yesus,
seperti Simon dan teman-temannya yang meninggalkan segala sesuatu untuk
mengikuti Yesus adalah “menjala manusia”. Namun, apakah yang dimaksud dengan
“menjala manusia”? Samakah artinya dengan menjala ikan? Lalu, bagaimana cara
melakukannya?
3.4
Makna
Panggilan “Menjala Manusia”
Istilah “menjala manusia” hanya muncul pada kisah
panggilan Luk 5:1-11 dalam injil Lukas. Istilah ini merupakan suatu metafora
yang digunakan oleh Yesus untuk menyatakan maksud panggilan-Nya kepada para
murid, terutama kepada Simon yang secara khusus berdialog dengan-Nya. Yesus
memanggil para murid untuk diutus melanjutkan misi perutusan-Nya, yakni menjadi
pewarta dan saksi Kerajaan Allah (bdk. Luk 9:2; 10:1-12; 24:46-49). Dengan kata
lain, para murid akan ambil bagian dalam karya perutusan Yesus yang telah
dinyatakan-Nya di awal pelayanan-Nya (bdk. Luk 4:18-19). Oleh karena itu,
maksud panggilan “menjala manusia” juga harus ditempatkan dalam pemahaman ini.
Yang menjadi persoalan adalah mengapa Yesus menggunakan istilah itu untuk
menyatakan maksud panggilan-Nya kepada para nelayan? Adakah makna yang tersirat
dalam istilah “menjala manusia”?
Bagi masyarakat Timur Tengah, laut diyakini sebagai
sumber kebijaksanaan hidup. Oleh karena itu, bagi mereka, “memancing atau
menjala” merupakan simbol pencarian jiwa dan pencarian ke dalam jiwa yang
menggambarkan harta kebijaksanaan dari lautan ketidaktahuan[47].
Dalam pemahaman ini, panggilan “menjala manusia” memperoleh makna tersirat dari
yang tertulis. “Menjala manusia” dapat dipahami sebagai pencarian jiwa manusia
dan pencarian ke dalam jiwa manusia.
Sementara itu, dalam teks asli (Yunani), kata kerja yang
dipakai untuk menerjemahkan istilah “menjala manusia” adalah “zōgrōn”
yang merupakan kombinasi dari zōos (alive) dan agrein (catch, hunt).
Kata ini berarti bekerja menangkap manusia-manusia untuk membawa mereka ke
kehidupan[48].
Maka, panggilan Simon dan teman-temannya adalah bekerja menangkap
manusia-manusia untuk membawa mereka kepada kehidupan[49].
Tugas baru Simon ini tampaknya bertolak belakang dari tugasnya semula. Kalau
semula ia dan teman-temannya adalah penjala ikan yang menangkap ikan untuk
dikonsumsi (menyebabkan ikan mati), kini (“mulai sekarang”) ia akan menjadi
“penjala manusia” yang membawa manusia kepada kehidupan (menyelamatkan hidup
mereka). Inilah tugas panggilan Simon (dan teman-temannya) sepanjang hidup
mereka[50].
Implikasi panggilan Simon ini adalah ia akan
menyelamatkan manusia dari kuasa maut dan memelihara kehidupan mereka dengan
menjadikan mereka pengikut Kerajaan Allah[51].
Dengan demikian, Simon dan teman-temannya dipanggil untuk melanjutkan misi
Yesus, yakni mewartakan Injil Kerajaan Allah demi keselamatan manusia (agar manusia
memperoleh kehidupan bersama Allah) serta mengumpulkan manusia untuk bergabung
dalam Kerajaan itu. Melalui metafora “menjala manusia” ini, misi para murid
digambarkan seperti sebuah kegiatan menjala ikan. Dalam hal ini, penjalanya
atau yang bertugas menjalankan misi itu adalah semua murid Yesus yang karena panggilannya
menjadi “penjala manusia”[52].
Inilah tahap baru dalam sejarah penyelamatan yang melibatkan para murid Yesus.
Tahap itulah yang ditandai dengan ungkapan “mulai sekarang” pada pernyataan panggilan
Yesus[53].
3.5
Beberapa
Refleksi Atas Kisah Luk 5:1-11
3.5.1 Isi, Metode, dan Dampak Pewartaan Yesus
Yesus adalah seorang Pewarta Sejati. Identitas-Nya
sebagai Pewarta injil tampak dalam awal karya-Nya di rumah ibadat di Nazaret
(bdk. Luk 4:16-30). Melalui pewartaan kenabian-Nya ini, Ia mewartakan Diri-Nya
sebagai utusan Allah. Ia diutus untuk memberitakan pembebasan bagi orang-orang
miskin dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang
yang tertindas, dan untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (bdk.
Luk 4:18-19). Itulah injil atau kabar gembira yang menjadi misi pewartaan Yesus
yang dikisahkan oleh Lukas. Kabar gembira ini tidak hanya diberitakan tetapi
juga diwujudkan oleh Yesus melalui sabda dan karya-Nya.
Dalam kisah Luk 5:1-11, Yesus sebagai seorang Pewarta
injil juga ditunjukkan oleh Lukas. Di sana dilukiskan bahwa Yesus mengajar
orang banyak dari atas perahu Simon. Memang isi ajaran Yesus tidak diungkapkan
dalam kisah itu tetapi hal ini dapat dilihat dalam hubungannya dengan
pernyataan-Nya dalam Luk 4:18-19, sebab untuk itulah Ia diutus. Bagaimanapun
seluruh sabda dan karya-Nya akan menghadirkan misi perutusan-Nya itu.
Identitas Yesus sebagai Pewarta Sejati, dalam kisah Luk
5:1-11 tidak hanya ditunjukkan lewat tindakan-Nya mengajar orang banyak tetapi
juga tampak dalam cara-Nya mengajar, kemampuan-Nya mewujudkan pengajaran itu
dalam tindakan, dan daya pengajaran-Nya bagi orang lain. Mengajar orang banyak
dari atas perahu kiranya bukan suatu kebetulan saja tetapi suatu metode atau
cara pengajaran Yesus agar kata-kata-Nya dapat berdaya guna bagi pendengar.
Dengan mengajar dari atas perahu (dari arah danau ke darat), suara-Nya akan
didengarkan dengan lebih baik daripada mengajar di antara orang banyak itu.
Tindakan pengajaran Yesus ini menunjukkan metode pewartaan-Nya dengan
memanfaatkan kekuatan alam agar pewartaan-Nya berdaya guna.
Yesus tidak hanya pandai dalam mengajar tetapi juga mampu
mewujudkan apa yang diajarkan. Ia tidak hanya memberitakan pembebasan bagi
orang-orang miskin atau
tahun rahmat Tuhan telah datang (bdk. Luk 4:18-19) tetapi
juga sungguh-sungguh menghadirkan kata-kata itu dalam tindakan-Nya. Dengan kata
lain, keselamatan yang ditawarkan Yesus berdimensi holistik, tidak hanya
membebaskan manusia pada akhir zaman tetapi saat ini juga pembebasan telah
dirasakan oleh manusia. Dalam kisah Luk 5:1-11 dilukiskan bahwa setelah Yesus
selesai berbicara, Ia melakukan mukjizat (bdk. Luk 5:4-7). Pada saat itu, para
nelayan tentu saja merasa sedih, kecewa, atau bahkan putus asa akan usaha
mereka yang tidak membuahkan hasil sedikit pun, walaupun mereka telah bekerja
keras semalaman. Kalau mereka hanyalah nelayan sederhana, yang menangkap ikan
hanya untuk dikonsumsi keluarga dan kerabat mereka, maka tentu saja kegelisahan
mereka bertambah karena kebutuhan hidup keluarga mereka hari itu tidak dapat
mereka sediakan.
Yesus tahu
perasaan mereka maka Ia menawarkan suatu solusi untuk mengatasi kegelisahan
mereka. Ia berkata kepada Simon, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah
jalamu untuk menangkap ikan.” Meskipun sulit diterima, permintaan Yesus ini
dilaksanakan juga oleh Simon dan temannya. Mereka melaksanakan permintaan Yesus
ini dengan iman dan kepasrahan kepada Yesus, “[...]tetapi karena Engkau
menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Inisiatif Yesus membebaskan
para nelayan dari kemiskinan mereka hari itu ditanggapi oleh Simon dan temannya
dengan iman maka terjadilah mukjizat sehingga mereka semua menyadari bahwa
rahmat Tuhan telah datang.
Akhirnya, pengajaran Yesus ini sungguh berdaya guna bagi
orang-orang yang mendengarkannya. Mereka semua takjub akan tindakan Yesus.
Bahkan Simon langsung menyadari keilahian Yesus sehingga ia merasa tidak pantas
berada di dekat-Nya. “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang
berdosa.” Rahmat Tuhan yang dialami Simon dan teman-temannya itu mengubah hidup
mereka. Mereka percaya, menyadari keilahian Yesus dan ketidakpantasan diri
mereka, lalu mengikuti Yesus. Itulah perubahan hidup mereka yang tampak dalam
profesi yang berubah secara total: seorang penjala ikan menjadi “penjala
manusia”. Perubahan profesi ini juga menyiratkan suatu makna yang mendalam dari
panggilan mereka. Profesi penjala ikan dan “penjala manusia” saling berlawanan.
Seorang penjala ikan menangkap ikan dan mengakibatkan ikan itu tak berdaya dan
mati, sementara seorang “penjala manusia” menangkap manusia untuk dibawa kepada
kehidupan[54].
Di sini tampak sekali daya guna pewartaan Yesus.
Pewartaan tidak hanya membawa rasa takjub dan syukur atas
rahmat Tuhan tetapi juga perubahan hidup. Pewartaan itu bisa saja sukses tetapi
bisa juga gagal tergantung pada kerja sama pewarta dan pendengar warta. Yesus
sendiri telah memberikan contoh bagaimana mewartakan dalam berbagai situasi. Ia
pernah mengalami kesuksesan dan kegagalan karena pendengar-Nya tidak mau
menerima-Nya (bdk. Luk 4:28-30). Akan tetapi, kesejatian seorang pewarta tidak
terletak pada respon pendengar dan hasil yang langsung bisa diamati. Seorang
pewarta mewartakan injil bukan terutama untuk membuat sesuatu (aktivisme), atau
memperoleh hasil langsung dan nyata (konkretisme), melainkan ambil bagian dalam
kebebasan Yesus, Penginjil Sejati, dan ambil bagian dalam visi dan wawasan-Nya
yang luas. Yesus telah memberikan contoh cara mewartakan injil dengan baik. Ia
tahu dan mampu mengambil jarak dari peristiwa dan tidak cepat terpancing oleh
yang konkret. Ia tidak bergantung pada orang banyak dan juga tidak memaksakan
kehendak-Nya kepada mereka. Ia adalah seorang Pewarta injil yang bebas[55].
Dalam hal ini, Yesus telah memberikan teladan kepada para murid-Nya menganai
cara “menjala manusia”.
3.5.2 Yesus Memanggil dan Mendidik Murid-Nya Menjadi Pewarta
Injil
Dalam karya pewartaan injil Kerajaan Allah, Yesus
memanggil murid-murid untuk menyertai-Nya serta mendidik mereka menjadi pewarta
injil untuk meneruskan misi-Nya. Dalam konteks inilah, kisah Luk 5:1-11 dapat
ditempatkan sebagai usaha Yesus untuk memanggil dan mendidik para murid-Nya
menjadi pewarta injil untuk meneruskan misi-Nya. Dalam kisah Luk 5:1-11,
dilukiskan bahwa Yesus memanggil para murid yang akan dididik-Nya menjadi
pewarta injil. Pemanggilan menjadi langkah awal dalam proses pendidikan seorang
pewarta injil. Meskipun pemanggilan itu merupakan inisiatif dari Yesus
(prakarsa Yesus) sendiri, Ia tidak menghilangkan kebebasan orang-orang yang
dipanggil-Nya. Ia tidak memaksa mereka untuk mengikuti-Nya tetapi meminta
tanggapan bebas atas panggilan-Nya itu. Itulah proses kemuridan yang dilukiskan
oleh Lukas dalam kisah Luk 5:1-11.
Proses kemuridan dalam Luk 5:1-11 dapat diamati dalam
pribadi Simon khususnya dalam dialognya dengan Yesus. Ada dua dialog antara
Simon dan Yesus dalam kisah itu, yakni dialog pertama pada ayat 4-5 dan dialog
kedua pada ayat 8 dan 10b. Sebelum dialog tersebut, Yesus sudah bertemu dan
berbicara kepada Simon pada ayat 3. Namun, pada ayat itu tidak terjadi dialog
sebab Simon melaksanakan perintah Yesus untuk menolakkan perahunya sedikit
lebih jauh dari pantai tanpa berkata apa-apa (bdk. ay. 3). Dialog baru terjadi
ketika Simon menanggapi Yesus yang memintanya bertolak ke tempat dalam dan
menebarkan jala untuk menangkap ikan (dialog pertama). Tanggapan itu
mengungkapkan sekaligus keraguan dan keyakinan pada Yesus. Namun, akhirnya ia
taat pada permintaan Yesus. Ia menyerahkan keberhasilannya pada Yesus.
Keyakinan dan ketaatan Simon pada Yesus membuahkan hasil tangkapan ikan yang
sangat banyak hingga mengoyakkan jalanya. Hasil yang menakjubkan ini
menggerakkan Simon untuk memberikan reaksi lagi (dialog kedua). Ia sujud di
hadapan Yesus dan meminta Yesus pergi dari padanya karena ia merasa tidak
pantas. Dengan rendah hati, ia menyadari ketidakpantasannya. Namun, permintaan
Simon tidak dikabulkan oleh Yesus. Ia justru diberi tugas baru, yakni “menjala
manusia”. Simon dipanggil dan dipilih Yesus menjadi murid-Nya dan akan
dijadikan oleh-Nya sebagai pewarta injil melanjutkan misi-Nya. Simon menjadi
murid Yesus karena ia mau menerima Yesus, percaya dan melaksanakan
kehendak-Nya, serta rendah hati mengakui ketidakpantasannya di hadapan Yesus.
Maka, syarat utama seorang murid Yesus adalah mau menerima Yesus, percaya
kepada-Nya, mau melaksanakan kehendak-Nya kendatipun berlawanan dengan kehendak
pribadinya, serta mau bergabung dalam kelompok para murid Yesus dengan
mengikuti Yesus dalam perjalanan hidupnya.
Simon dan teman-temannya yang menjadi pengikut Yesus
dalam Luk 5:1-11 merupakan calon-calon pewarta injil (“penjala manusia”).
Dengan kata lain, panggilan merupakan pintu masuk menjadi pewarta injil
(“penjala manusia”). Melalui kebersamaan Yesus dengan para murid-Nya, Ia akan
mendidik mereka untuk meneruskan misi-Nya di dunia ini. Oleh karena itu,
kebersamaan Yesus dengan para murid-Nya merupakan proses pendidikan para murid
menjadi pewarta injil (“penjala manusia”).
Pendidikan para murid menjadi pewarta injil dilakukan
oleh Yesus melalui sabda dan karya-Nya. Ia tidak hanya bersabda dan memberikan
perintah kepada para murid-Nya, tetapi lebih dari itu Ia memberikan teladan
menjadi pewarta injil Kerajaan Allah. Dalam Luk 5:1-11 teladan Yesus dalam
mewartakan injil ditunjukkan oleh Lukas. Teladan itu tampak dalam cara Yesus
“menjala manusia”, yakni pewartaan injil Kerajaan Allah melalui pengajaran dan
tindakan (kesaksian hidup). Yesus tidak hanya bersabda tetapi Ia berusaha
mewujudkan sabda-Nya dalam tindakan yang menggerakkan hati banyak orang untuk
mengikuti-Nya. Cara Yesus “menjala manusia” tidak dilakukan dengan kekerasan
atau pemaksaan tetapi melalui kesaksian hidup, yakni lewat pengajaran dan
tindakan-Nya yang mengena ke dalam segala lapisan masyarakat pada zaman-Nya.
Cara seperti ini pulalah yang diharapkan Yesus dari para pengikut-Nya.
3.6
Kesimpulan
Panggilan “menjala manusia” dalam Luk 5:1-11 merupakan
tugas perutusan Simon dan para murid yang mengikuti Yesus. Namun, tugas ini
tidak hanya diperuntukkan bagi Simon dan murid-murid yang lain sebagaimana
dikisahkan dalam Luk 5:1-11. Tugas ini juga merupakan kewajiban setiap murid
Yesus sebagai konsekuensi kemuridannya. Tugas “menjala manusia” berarti
merenggut umat manusia dari kuasa maut dan membawanya pada kehidupan, yakni
hidup bersama Allah dalam Kerajaan-Nya untuk memperoleh keselamatan. Jalan
satu-satunya menuju kehidupan itu adalah Yesus Kristus (bdk. Yoh 14:6).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa para murid Yesus wajib mewartakan Yesus dan
mengumpulkan orang-orang dan membawa mereka kepada Yesus, yakni jalan,
kebenaran, dan hidup agar menemukan kehidupan dan keselamatan.
Pertanyaan yang muncul dari makna panggilan “menjala
manusia” ini adalah apakah mengikuti Yesus sama dengan menjadi Kristen
(beragama Kristen)? Sebenarnya dalam konteks Luk 5:1-11, tidak ada tuntutan
untuk masuk dalam agama Kristen. Lukas belum sampai pada persoalan agama
Kristen sebagai sebuah institusi sebagaimana yang kita kenal saat ini. Lukas
hanya melukiskan bagaimana para penjala ikan itu dipanggil oleh Yesus untuk
mengikuti-Nya dan menjadi “penjala manusia”. Akan tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya, hidup bersama Yesus atau menjadi pengikut Yesus dan menjadi
“penjala manusia” secara eksplisit terungkap melalui kesediaan untuk bergabung dalam
kelompok para murid. Kelompok para murid adalah orang-orang yang mengimani
Yesus Kristus serta menjalankan ajaran-Nya. Kelompok itu disebut sebagai umat
Kristen atau umat beragama Kristen. Oleh karena itu, dalam hal ini tujuan misi
“menjala manusia” dapat dipahami sebagai mengumpulkan orang-orang untuk
bergabung dalam kelompok para murid Yesus Kristus. Melalui iman akan Yesus
Kristus inilah manusia akan memperoleh keselamatan. Dengan kata lain, tujuan
misi “menjala manusia” adalah pertobatan dan pembaptisan (bdk. RM 46-47),
meskipun tidak berhenti sampai di situ saja sebab tujuan utamanya adalah
keselamatan. Dengan kata lain, panggilan “menjala manusia” memberikan otoritas
kepada para murid Yesus sebagai wakil Yesus, Guru mereka dan sebagai agen Kerajaan
Allah, sekaligus menunjuk pada misi evangelisasi Gereja[56].
Inilah tugas yang harus dilaksanakan dalam segala situasi sepanjang sejarah
oleh setiap orang yang dipanggil untuk menjadi murid Yesus.
Dalam situasi pluralitas agama saat ini, panggilan
“menjala manusia” menghadapi persoalan. Di satu sisi, panggilan itu merupakan
suatu konsekuensi kemuridan (kewajiban) yang harus dilaksanakan. Namun, di sisi
lain, situasi dan kondisi yang dihadapi oleh para murid serba sulit untuk
mewujudkan tugasnya itu. Dengan kata lain, persoalan itu adalah bagaimana cara
melaksanakan panggilan “menjala manusia” berhadapan dengan umat beragama lain
agar pesan dan perintah Yesus dapat terlaksana di dunia ini. Akan tetapi, misi
itu tidak pernah mengizinkan adanya cara-cara pemaksaan untuk bergabung dalam
kelompok para murid Yesus atau membaptis orang-orang yang belum percaya kepada
Yesus Kristus secara paksa (bdk. AG 13). Dalam hal inilah kita akan berbicara
tentang metode pewartaan Injil Kerajaan Allah demi melaksanakan panggilan
kemuridan Yesus, yakni menjadi “penjala manusia”. Metode pewartaan ini akan
dibahas pada bab berikut ini (bab IV). Secara khusus metode pewartaan akan
ditempatkan dalam konteks pluralisme religius yang merupakan salah satu sikap
keagamaan menanggapi pluralitas agama, dalam mana keberadaan misi selalu
dipertanyakan.
[1]
Bdk. I. Howard Marshall, The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text,
Paternoster Press, Exeter 1978, 206.
[2]
Bdk. J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 561. Bdk. pula C.
Stuhlmueller, C.P., “The Gospel According to Luke”, 133; dan Lembaga Biblika
Indonesia, Kitab Suci Katolik, Arnoldus, Ende 2009, 146.
[3]
J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 561.
[4]
Meskipun demikian, ada juga yang berpendapat, seperti I. Howard Marshall,
Dietrich, dan Rengstorf, bahwa kisah itu bukan berasal dari kisah sesudah
kebangkitan. Alasannya, sikap yang diungkapkan Simon sebagai “seorang pendosa”
biasa juga ditujukan pada orang yang dipandang bersalah, atau yang melakukan
tindakan yang memalukan (bdk. Luk 5:30; 19:7). Hal itu juga biasa dipahami
dalam pengertian moral secara umum (bdk. Luk 13:2; 24:7). Apa yang diungkapkan
Simon, yakni ketidakpantasan (bdk. Mat 8:8; Yak 42:5) dan ketakutannya (bdk.
Hak 6:22; 13:22; 1 Raj 17:18; Yes 6:5) memang seharusnya dirasakan oleh mereka
yang mengalami kehadiran Tuhan (bdk. Luk 18:13). Bdk. I. Howard Marshall, The
Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text, 204-205.
[5]
Bandingkan kata yang digunakan oleh Lukas dalam menafsirkan pernyataan Yesus,
“Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”. Lukas mengubah isi, susunan,
serta bahasa yang digunakan Markus. “Penjala manusia” menjadi “menjala manusia”
(atau aslinya: menangkap dan membawa manusia ke kehidupan).
[6]
Bandingkan pula perbedaan penempatan kisah panggilan dalam Markus dan Lukas.
Markus menempatkan kisah itu di awal penampilan-Nya di depan umum, tetapi Lukas
menempatkan kisah itu setelah menampilkan Yesus yang berkarya di depan umum
seorang diri. Karya Yesus di depan umum ini juga telah disaksikan oleh banyak
orang, termasuk Simon yang akhirnya memutuskan untuk mengikuti Yesus.
[7]
Bdk. J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 562.
[10]
Leander E. Keck (ed.), Luke 5:1-11, Calling the Fishermen, 115.
[11]
Bdk. J.L. McKenzie, SJ. “Galilee, Sea of”, Dictionary of the Bible, Geoffrey
Chapman, London 1976, 294-294.
[12]
Bdk. C. Stuhlmueller, C.P., The Gospel of Saint Luke, 34.
[13]
Bdk. C. Stuhlmueller, C.P., “The Gospel According to Luke”, 133.
[14]
Bdk. F. Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 167.
[15]
Bdk. F. Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 167.
[16]
Bdk. F. Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 169.
[17]
Bdk. Dr. B.J. Boland, Tafsiran Lukas (1-9:50), I, 106.
[18] S.
Leks, Tafsir Injil Lukas, 161.
[19] F.
Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 168.
[21]
Bdk. sapaan yang digunakan oleh Simon pada ayat 5 (“guru”) dan ayat 8
(“Tuhan”).
[22]
J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 566.
[23] F.
Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 169.
[25]
G.W.H. Lampe, “Luke”, dalam M. Black (ed.), Peake’s Commentary on the Bible,
Thomas Nelson and Sons Ltd., Hong Kong 1962, 828.
[26]
J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 566; bdk. F. Bovon, Luke
1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 169.
[27]
Bdk. Lembaga Biblika Indonesia, Kitab Suci Katolik, 146-147.
[28]
G.W.H. Lampe, “Luke”, 828; bdk. I. Howard Marshall, The Gospel of Luke: A
Commentary on the Greek Text, 202.
[29] Hal
ini menunjukkan bahwa Lukas berusaha menghindari kata-kata yang agaknya sulit
dipahami oleh para pembacanya. Bdk. G.W.H. Lampe, “Luke”, 828-829; dan C.
Stuhlmueller, C.P., “The Gospel According to Luke”, 133.
[30] F.
Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 169.
[31] I.
Howard Marshall, The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text, 203.
[32]
Bdk. Guido Tisera, SVD, Yesus Sahabat Di Perjalanan, Membaca dan Merenungkan
Injil Lukas, 51.
[33]
Bdk. F. Bovon, Luke 1: A Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 169-170.
[34]
Bdk. I. Howard Marshall, The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text,
203.
[35]
Bdk. Dr. B.J. Boland, Tafsiran Lukas (1-9:50), I, 106.
[36] F. Bovon dan I Howard Marshall mencoba menjelaskan alasan
koyaknya jala para penjala ikan itu dengan melihat cara dan kebiasaan menjala
ikan di daerah Mediteranian. Cara menangkap ikan di sana rupanya dengan
menggunakan jala yang “mengurung” sejumlah besar ikan dari segala segi. Cara
seperti ini sulit dan sering gagal dilakukan bila hanya menggunakan satu
perahu. Namun, yang paling sulit dari cara menjala seperti ini adalah menarik
jala yang sudah berisi tangkapan. Pada saat itu, ikan tangkapan mereka sering
lepas karena jala mereka koyak maka sambil menarik jala, mereka berusaha agar
tangkapan tidak lepas dan jala mereka tidak koyak. Bdk. F. Bovon, Luke 1: A
Commentary on the Gospel of Luke 1:1-9:10, 170; dan I. Howard Marshall, The
Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text, 203.
[37]
Nama rangkap Simon Petrus muncul
hanya di ayat 8 saja, sedangkan dalam Luk 6:14 (dan Kis 10:15.18.32; 11:13) muncul
ungkapan Simon yang disebut Petrus. Nama Petrus tanpa imbuhan apa-apa muncul
beberapa kali dalam injil Lukas. Nama rangkap Simon Petrus biasa muncul dalam injil Yohanes. Bila nama itu muncul
dalam kisah Lukas ini, maka inilah tandanya bahwa dalam menyusunnya, Lukas
menggunakan suatu sumber yang menceritakan peristiwa sesudah kebangkitan Yesus
atau bahwa Lukas mau menggarisbawahi secara khusus panggilan Simon. Bdk. S.
Leks, Tafsir Injil Lukas, 166.
[38]
Bdk. Dr. B.J. Boland, Tafsiran Lukas (1-9:50), I, 106.
[39] Dr.
B.J. Boland, Tafsiran Lukas (1-9:50), I, 107.
[40]
Bandingkan pula kisah tentang Musa di atas Gunung Horeb, ketika ia menyaksikan
semak duri yang menyala. TUHAN memerintahkan Musa melepaskan alas kakinya
(kasutnya) di tempat yang kudus itu karena TUHAN hadir di sana (bdk. Kel
3:1-5).
[41] C.
Stuhlmueller, C.P., “The Gospel According to Luke”, 133.
[42]
Bdk. G.W.H. Lampe, “Luke”, 829.
[43]
Bdk. Dr. B.J. Boland, Tafsiran Lukas
(1-9:50), I, 107.
[44]
Bdk. Dr. B.J. Boland, Tafsiran Lukas
(1-9:50), I, 107.
[45]
Bdk. G.W.H. Lampe, “Luke”, 829.
[46]
Bdk. I. Howard Marshall, The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text,
206.
[47] Ann
Dunnigan, “Fish”, dalam Mircea Eliade dkk. (eds), The Encyclopedia of Religion, V, Macmillan Publishing
Company, New York 1987, 347.
[48]
Bdk. J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 568.
[49]
Dalam Perjanjian Lama dan gulungan Laut Mati, “memancing” digunakan secara
metaforis yang berarti mengumpulkan orang untuk penghakiman (bdk. Am 4:2; Hab
1:14-15; Yer 16:16). Bdk. Leander E. Keck (ed.), Luke 5:1-11, Calling the
Fishermen, 117; dan C.U. Wolf, “Fishing”, dalam G.A. Buttrick dkk. (eds), The
Interpreter’s Dictionary of the Bible, II, Abingdon Press, Nasville 1981,
274.
[50] C.
Stuhlmueller, C.P., “The Gospel According to Luke”, 133.
[51]
J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 563; bdk. Leander E.
Keck (ed.), Luke 5:1-11, Calling the Fishermen, 117.
[52]
C.U. Wolf, “Fishing”, 273-274.
[53] S.
Leks, Tafsir Injil Lukas, 168.
[54]
Bdk. J.A. Fitzmyer, The Gospel According to Luke I-X, 568.
[55]
Bdk. Guido Tisera, SVD, Yesus Sahabat Di Perjalanan, Membaca dan Merenungkan
Injil Lukas, 25.
[56]
Culpepper, John, the Son of Zebedes, 20-21, seperti dikutip oleh Leander
E. Keck (ed.), Luke 5:1-11, Calling the Fishermen, The New Interpreter’s
Bible IX, Abingdon Press, Nasville 1995, 117.
maaf, hanya mau tanya saja... apakah semua kutipan yang di atas itu bener smua, dan apakah smua sumbernya benar2 ada bukunya??
BalasHapusSetiap kutipan cocokan dgn injil..dan bacalah dgn iman percayamu..Gbu
BalasHapusShalom saudara seiman dalam Kristus dimana pun berada. Mari kita sama-sama belajar tentang Shema Yisrael yang pernah diucapkan oleh Yeshua ( nama Ibrani Yesus tertulis ישוע ) seperti yang dapat kita temukan dalam Markus 12 : 29 dan Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 sebagai berikut :
BalasHapusHuruf Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
Pengucapannya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
Orang Yahudi pada jaman Yeshua hingga sekarang terus memegang teguh prinsip keesaan Tuhan YHWH ( Adonai ) yang tersirat dalam kalimat Shema. Pada akhir pengucapan diikuti juga dengan kalimat berkat sebagai berikut :
" ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( Barukh Shem, kevod malkuto le'olam va'ed, artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selamanya dan kekal )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🗺️✝️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🥛🍯🥖🍷🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱