Sabtu, 09 Februari 2013

Penutup


BAB V
PENUTUP



Setiap murid Kristus dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di dunia ini. Panggilan untuk menjadi saksi Kristus merupakan kehendak Yesus Kristus sendiri. Dalam injil Lukas hal ini dikisahkan, yakni bahwa sesaat sebelum Ia naik ke surga, Yesus berpesan kepada murid-murid-Nya agar menjadi saksi-Nya di dunia. Namun, mereka tidak sendirian menjalankan panggilan itu karena Roh Kudus yang telah dijanjikan Bapa akan menyertai dan membimbing mereka (bdk. Luk 24:36-49 dan Kis 2:1-13). Menjadi saksi Kristus berarti meneruskan misi Yesus di dunia. Dengan demikian, misi perutusan para murid harus ditempatkan dalam misi perutusan Yesus (bdk. Luk 4:18-19). Bagaimanapun juga, misi para murid harus mengabdi atau sejalan dengan misi perutusan Yesus.
Untuk mewujudkan kehendak-Nya ini, Yesus memanggil dan memilih para murid yang akan Ia utus menjadi saksi-Nya sampai ke ujung dunia mulai dari Yerusalem. Panggilan pertama yang dikisahkan dalam injil Lukas terjadi di pantai danau Genesaret. Panggilan itu terjadi setelah Yesus mengajar orang banyak dari atas perahu dan melakukan mukjizat penangkapan ikan. Tidak semua orang yang ada di situ mengikuti Yesus tetapi hanya mereka yang tergerak untuk mengikuti-Nya, yakni para penjala ikan, Simon dan teman-temannya. Pada panggilan pertama ini, Yesus sudah menyatakan tugas yang akan dilaksanakan oleh para murid-Nya, yakni “menjala manusia”. Inilah yang kemudian ditegaskan lagi oleh Yesus -meskipun dengan bahasa yang berbeda- sesaat sebelum kenaikan-Nya ke surga.
Panggilan merupakan pintu masuk persahabatan atau kebersamaan Yesus dengan para murid-Nya, calon pewarta atau saksi-Nya. Oleh karena itu, Yesus mengharapkan agar melalui kebersamaan-Nya itu, para murid mampu meneladani sikap-Nya, khususnya dalam melaksanakan misi perutusan-Nya agar mereka bisa menjadi saksi-Nya yang baik. Kebersamaan dengan para murid menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mempersiapkan dan mendidik para murid-Nya untuk menjadi saksi-Nya (“penjala manusia”). Yesus mempersiapkan dan mendidik para murid-Nya melalui sabda dan karya-Nya. Dalam masa persiapan itu pula, para murid beberapa kali diutus untuk menjalankan perintah Yesus (bdk. Luk 9:2; 10:1). Dengan kata lain, melalui tindakan seperti itu, para murid belajar menjadi utusan atau saksi Yesus yang ambil bagian dalam perutusan-Nya mewartakan Kerajaan Allah. Tugas inilah yang kemudian diwarisi dan diteruskan oleh setiap murid Kristus sepanjang sejarah, sampai saat ini.
Akan tetapi, tugas perutusan “menjala manusia” mengalami banyak krisis. Banyak murid Kristus merasa tidak perlu dan tidak relevan lagi “menjala manusia” pada saat ini. Salah satu faktor yang menyebabkan sikap ini adalah realitas pluralitas agama yang sangat kompleks. Bahkan, dalam realitas itu, meuncul berabagai pandangan keagamaan yang tak jarang mempertanyakan perlunya misi “menjala manusia”. Misalnya, pluralisme religius yang menganggap semua agama sama saja sebagai jalan keselamatan kurang memberikan ruang bagi misi perutusan “menjala manusia”. Pandangan inilah yang akhir-akhir ini berkembang dalam pluralitas agama yang mengakibatkan menurunnya semangat misioner murid-murid Kristus (Gereja). Karena adanya anggapan bahwa semua agama bisa membawa penganutnya kepada keselamatan, murid-murid Kristus (Gereja) seakan menarik diri dari misinya “menjala manusia”.
Berhadapan dengan realitas pluralitas agama, Gereja harus menganggapnya sekaligus sebagai tantangan dan berkat bagi misi “menjala manusia” saat ini. Dengan kata lain, di satu sisi, realitas itu menumbuhkan kesadaran baru bagi Gereja akan toleransi positif[1] atau bahkan melintasi toleransi (beyond tolerance)[2] dalam hidup beragama, di sisi lain, menantang Gereja untuk memikirkan suatu pendekatan baru menghadapi relaitas itu. Tantangan bertujuan untuk mendorong Gereja memikirkan suatu sikap yang sesuai dengan konteks zaman ini. Selain itu, Gereja juga harus selalu menyadari bahwa misi “menjala manusia” merupakan kewajiban setiap murid Kristus sebagai konsekuensi panggilannya. Oleh karena itu, dalam situasi apa pun, Gereja harus tetap mewartakan misi perutusannya “menjala manusia”.
Tantangan pluralitas agama mendorong Gereja untuk mencari suatu cara bersikap atau bahkan suatu metode bermisi berhadapan dengan agama-agama lain dalam konteks pluralitas agama agar misi itu sungguh-sungguh efektif tanpa ada unsur pemaksaan (bdk. AG 13). Melalui Konsili Vatikan II, Gereja mengajak setiap anggotanya untuk di satu sisi terbuka pada pluralitas agama namun di sisi lain, tetap setia mewartakan misi perutusan kita, yakni mengumpulkan dan membawa manusia pada kehidupan (“menjala manusia”). Dua hal inilah yang harus dijaga ketegangannya agar Gereja tetap selalu eksis dan terbuka pada agama-agama lain sekaligus semakin setia pada tradisi imannya[3].
Dalam tulisan ini, ditawarkan empat kemungkinan menyikapi dua tegangan antara kewajiban “menjala manusia” dan tantangan pluralitas agama. Keempat hal ini dimaksudkan sebagai usaha setiap murid Kristus untuk tetap setia mewujudkan panggilannya “menjala manusia” tetapi dalam perwujudan itu, ia sekaligus terbuka pada realitas pluralitas agama.
Pertama, menampilkan kekhasan hidup Kritiani. Tugas ini dilaksanakan melalui usaha memperteguh iman serta menjalin persatuan dan kerja sama dengan sesama, khususnya yang seiman. Dengan kata lain, metode ini lebih menekankan evangelisasi ke dalam, yakni meningkatkan kesetiaan pada iman akan Yesus Kristus. Hal ini disadari perlu sebab dasar dari misi perutusan adalah iman akan Yesus Kristus. Tanpa iman misi perutusan tidak akan berarti. Selain itu, menampilkan kekhasan hidup juga penting ketika berhadapan dengan tantangan pluralisme religius yang cenderung tidak setia pada iman. Akan tetapi, menampilkan kekhasan iman dalam hal ini tidak berarti suatu kesombongan tetapi sebagai suatu keyakinan yang sungguh lahir dari pengalaman keagamaannya.
Kedua, menumbuhkan kesaksian hidup Kristiani. Berhadapan dengan berbagai umat beragama lain dari berbagai agama (dan aliran kepercayaan) setiap umat Kristiani harus berani menjadi “garam” dan “terang” melalui kesaksian hidupnya. Kesaksian itu harus didasari oleh semangat nilai-nilai injili, yakni semangat cinta kasih, hormat terhadap martabat manusia sebagai anak tercinta Allah, dan solidaritas dengan orang-orang miskin dan lemah[4]. Melalui kesaksian hidup inilah, setiap umat Kristiani dapat ambil  bagian dalam perutusan Yesus Kristus mewartakan Injil Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:18-19). Dengan demikian, kesaksian hidup Kristiani ini menekankan di satu sisi, kesetiaan pada iman namun di sisi lain, keterbukaan pada keberagaman yang merupakan realitas hidup bersama.
Ketiga, membina dialog positif dan konstruktif dengan umat beragama lain. Dialog merupakan sesuatu yang mutlak dalam karya perutusan murid-murid Kristus. Iman dan kesaksian hidup murid-murid Kristus hanya bisa diwujudkan dalam perjumpaan dan dialog dengan sesama, terutama umat beragama lain. Dengan kata lain, pelaksanaan perutusan “menjala manusia” harus bersifat dialogal. Artinya, dalam usaha mewartakan Kristus kepada dunia, murid-murid Kristus harus berani membuka diri pada penganut agama-agama lain untuk saling belajar dan memperkaya diri tetapi sekaligus memperkenalkan Kristus lewat kesaksian hidup mereka (bdk. DM 3; DP 9)[5]. Oleh karena itu, dalam keberagaman ini dituntut sikap kerendahan hati untuk membuka diri[6] dan toleransi positif atau bahkan beyond tolerance untuk saling menghargai dan memperkaya identitas keyakinan masing-masing[7]. Dengan membina sikap seperti ini, cara pemaksaan dalam misi yang tidak berkenan bagi Gereja dapat dihindarkan. Sebaliknya, melalui sikap ini, yang diutamakan adalah karya Roh Kudus serta kebebasan manusia dalam menentukan pilihan hidupnya termasuk keyakinannya.
Keempat, membela dan memperjuangkan martabat manusia. Hal ini juga merupakan salah satu perwujudan dari panggilan “menjala manusia” di tengah dunia. Melalui tindakan ini, makna “menjala manusia” sebagai usaha membebaskan manusia dari kuasa maut dan membawa pada kehidupan sungguh-sungguh dapat dirasakan. Dalam hal ini, realitas maut harus dipahami secara luas, misalnya kemelaratan, kebodohan, ketidakadilan, penindasan, perpecahan, tak adanya damai, dan sebagainya[8]. Oleh karena itu, membebaskan manusia dari kuasa maut dapat berarti membebaskan manusia dari kemelaratan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya.
Tentang semua sikap dan tindakan perutusan “menjala manusia”, Yesus telah memberikan teladan kepada para murid-Nya. Ia adalah utusan Bapa untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah. Demi ketaatan dan kesetiaan-Nya kepada Bapa, Ia telah mengosongkan Diri-Nya dan menjadi manusia, bahkan menjadi manusia yang paling hina. Demi kesetiaan-Nya itu pula, Ia rela mati secara hina, yakni disalibkan di Golgota. Kiranya melalui teladan Yesus ini, terutama kesetiaan dan pengosongan Diri-Nya dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah, para murid Kristus (Gereja) mampu juga setia pada tugas perutusannya sekaligus rendah hati membuka diri terhadap penganut agama lain. Melalui kesetiaan dan keterbukaan itulah, Gereja mampu bersaksi menjadi “garam” dan “terang” (menjadi saksi Kristus) di tengah dunia yang beragam ini.
Dengan demikian, berhadapan dengan umat beragama lain, pelaksanaan perutusan Gereja harus sungguh-sungguh terpancar dari pengalaman keyakinannya akan Yesus Kristus (inti dan kekhasan iman Kristiani) dan berani belajar mengenal umat beragama lain dalam perjumpaan yang konkret (a posteriori). Dalam perjumpaan itulah, Gereja akan mewartakan misi perutusannya “menjala manusia” kepada dunia melalui sharing kekhasan pengalaman imannya, kesaksian hidupnya, dialognya yang rendah hati kepada semua manusia, terutama umat beragama lain, serta perjuangannya membela martabat manusia. Kiranya melalui sikap dan tindakan “menjala manusia” seperti ini, panggilan itu sungguh-sungguh dirasakan sebagai pembawa kehidupan dan keselamatan oleh setiap manusia.


[1] Menurut F. Magnis-Suseno, toleransi dalam arti sebenarnya sama sekali tidak menuntut agar orang merelatifkan keyakinan-keyakinannya. Toleransi positif bukan sekadar kesediaan untuk tidak menyusahkan, suatu sikap yang “membiarkan saja” pihak lain secara merendahkan. Toleransi positif adalah lebih dari sekadar tidak mengganggu, mengusir atau membunuh pihak lain meski mereka itu berbeda. Toleransi positif adalah sesuatu yang lain. Toleransi positif dengan senang dan gembira menerima bahwa setiap orang adalah dirinya sendiri, menghormati kelompok-kelompok orang lain dalam identitas mereka, termasuk juga keyakinan dan nilai-nilai mereka. Maka, toleransi justru tidak berarti mengatakan bahwa kita pada hakikatnya sama pendapatnya. Toleransi yang benar menuntut agar pihak lain diakui dalam keberlainannya. Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 9-10.
[2] Beyond tolerance merupakan suatu sikap beragama yang melihat perbedaan-perbedaan antaragama sebagai peluang untuk memperdalam komitmen atau kesetiaan iman pribadi kita dalam perjumpaan dengan umat beragama lain. Dalam hal ini, kita tidak hanya mengakui secara jujur dan apa adanya perbedaan antaragama tetapi sekaligus belajar dari perbedaan itu untuk memperdalam iman kita. Bdk. J.L. Fredericks, Faith among Faiths: Christian Theology and Non-Christian Religions, Paulist Press, New York 1999, 172.

[3] J.L. Fredericks, Faith among Faiths: Christian Theology and Non-Christian Religions, 169.
[4] Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 113.
[5] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM., Dialog Interreligius, 131.
[6] Bdk. Mgr. I. Suharyo, The Catholic Way, 87.
[7] Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 9-10.
[8] Bdk. A. Gianto, SJ., Dag-Dig-Dug….Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, 153.

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih tuhan atas keingintahuan yang Engkau karuniakan kepadaku.