BAB
V
PENUTUP
Setiap murid Kristus dipanggil untuk menjadi saksi
Kristus di dunia ini. Panggilan untuk menjadi saksi Kristus merupakan kehendak
Yesus Kristus sendiri. Dalam injil Lukas hal ini dikisahkan, yakni bahwa sesaat
sebelum Ia naik ke surga, Yesus berpesan kepada murid-murid-Nya agar menjadi
saksi-Nya di dunia. Namun, mereka tidak sendirian menjalankan panggilan itu
karena Roh Kudus yang telah dijanjikan Bapa akan menyertai dan membimbing
mereka (bdk. Luk 24:36-49 dan Kis 2:1-13). Menjadi saksi Kristus berarti
meneruskan misi Yesus di dunia. Dengan demikian, misi perutusan para murid
harus ditempatkan dalam misi perutusan Yesus (bdk. Luk 4:18-19). Bagaimanapun
juga, misi para murid harus mengabdi atau sejalan dengan misi perutusan Yesus.
Untuk mewujudkan kehendak-Nya ini, Yesus memanggil dan
memilih para murid yang akan Ia utus menjadi saksi-Nya sampai ke ujung dunia
mulai dari Yerusalem. Panggilan pertama yang dikisahkan dalam injil Lukas
terjadi di pantai danau Genesaret. Panggilan itu terjadi setelah Yesus mengajar
orang banyak dari atas perahu dan melakukan mukjizat penangkapan ikan. Tidak
semua orang yang ada di situ mengikuti Yesus tetapi hanya mereka yang tergerak
untuk mengikuti-Nya, yakni para penjala ikan, Simon dan teman-temannya. Pada
panggilan pertama ini, Yesus sudah menyatakan tugas yang akan dilaksanakan oleh
para murid-Nya, yakni “menjala manusia”. Inilah yang kemudian ditegaskan lagi
oleh Yesus -meskipun dengan bahasa yang berbeda- sesaat sebelum kenaikan-Nya ke
surga.
Panggilan merupakan pintu masuk persahabatan atau
kebersamaan Yesus dengan para murid-Nya, calon pewarta atau saksi-Nya. Oleh
karena itu, Yesus mengharapkan agar melalui kebersamaan-Nya itu, para murid
mampu meneladani sikap-Nya, khususnya dalam melaksanakan misi perutusan-Nya
agar mereka bisa menjadi saksi-Nya yang baik. Kebersamaan dengan para murid
menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mempersiapkan dan mendidik para murid-Nya
untuk menjadi saksi-Nya (“penjala manusia”). Yesus mempersiapkan dan mendidik
para murid-Nya melalui sabda dan karya-Nya. Dalam masa persiapan itu pula, para
murid beberapa kali diutus untuk menjalankan perintah Yesus (bdk. Luk 9:2;
10:1). Dengan kata lain, melalui tindakan seperti itu, para murid belajar
menjadi utusan atau saksi Yesus yang ambil bagian dalam perutusan-Nya
mewartakan Kerajaan Allah. Tugas inilah yang kemudian diwarisi dan diteruskan
oleh setiap murid Kristus sepanjang sejarah, sampai saat ini.
Akan tetapi, tugas perutusan “menjala manusia” mengalami
banyak krisis. Banyak murid Kristus merasa tidak perlu dan tidak relevan lagi
“menjala manusia” pada saat ini. Salah satu faktor yang menyebabkan sikap ini
adalah realitas pluralitas agama yang sangat kompleks. Bahkan, dalam
realitas itu, meuncul berabagai pandangan keagamaan yang tak jarang
mempertanyakan perlunya misi “menjala manusia”. Misalnya, pluralisme religius
yang menganggap semua agama sama saja sebagai jalan keselamatan kurang
memberikan ruang bagi misi perutusan “menjala manusia”. Pandangan inilah yang
akhir-akhir ini berkembang dalam pluralitas agama yang mengakibatkan menurunnya
semangat misioner murid-murid Kristus (Gereja). Karena adanya anggapan bahwa
semua agama bisa membawa penganutnya kepada keselamatan, murid-murid Kristus
(Gereja) seakan menarik diri dari misinya “menjala manusia”.
Berhadapan dengan realitas pluralitas agama, Gereja harus
menganggapnya sekaligus sebagai tantangan dan berkat bagi misi “menjala
manusia” saat ini. Dengan kata lain, di satu sisi, realitas itu menumbuhkan
kesadaran baru bagi Gereja akan toleransi positif[1]
atau bahkan melintasi toleransi (beyond tolerance)[2]
dalam hidup beragama, di sisi lain, menantang Gereja untuk memikirkan suatu
pendekatan baru menghadapi relaitas itu. Tantangan bertujuan untuk mendorong
Gereja memikirkan suatu sikap yang sesuai dengan konteks zaman ini. Selain itu,
Gereja juga harus selalu menyadari bahwa misi “menjala manusia” merupakan
kewajiban setiap murid Kristus sebagai konsekuensi panggilannya. Oleh karena
itu, dalam situasi apa pun, Gereja harus tetap mewartakan misi perutusannya
“menjala manusia”.
Tantangan pluralitas agama mendorong Gereja untuk mencari
suatu cara bersikap atau bahkan suatu metode bermisi berhadapan dengan
agama-agama lain dalam konteks pluralitas agama agar misi itu sungguh-sungguh
efektif tanpa ada unsur pemaksaan (bdk. AG 13). Melalui Konsili Vatikan II,
Gereja mengajak setiap anggotanya untuk di satu sisi terbuka pada
pluralitas agama namun di sisi lain, tetap setia mewartakan misi
perutusan kita, yakni mengumpulkan dan membawa manusia pada kehidupan (“menjala
manusia”). Dua hal inilah yang harus dijaga ketegangannya agar Gereja
tetap selalu eksis dan terbuka pada agama-agama lain sekaligus semakin setia
pada tradisi imannya[3].
Dalam tulisan ini, ditawarkan empat kemungkinan menyikapi
dua tegangan antara kewajiban “menjala manusia” dan tantangan pluralitas agama.
Keempat hal ini dimaksudkan sebagai usaha setiap murid Kristus untuk tetap setia
mewujudkan panggilannya “menjala manusia” tetapi dalam perwujudan itu, ia
sekaligus terbuka pada realitas pluralitas agama.
Pertama,
menampilkan kekhasan hidup Kritiani. Tugas ini dilaksanakan melalui usaha
memperteguh iman serta menjalin persatuan dan kerja sama dengan sesama,
khususnya yang seiman. Dengan kata lain, metode ini lebih menekankan
evangelisasi ke dalam, yakni meningkatkan kesetiaan pada iman akan Yesus
Kristus. Hal ini disadari perlu sebab dasar dari misi perutusan adalah iman
akan Yesus Kristus. Tanpa iman misi perutusan tidak akan berarti. Selain itu,
menampilkan kekhasan hidup juga penting ketika berhadapan dengan tantangan pluralisme
religius yang cenderung tidak setia pada iman. Akan tetapi, menampilkan
kekhasan iman dalam hal ini tidak berarti suatu kesombongan tetapi sebagai
suatu keyakinan yang sungguh lahir dari pengalaman keagamaannya.
Kedua,
menumbuhkan kesaksian hidup Kristiani. Berhadapan dengan berbagai umat beragama
lain dari berbagai agama (dan aliran kepercayaan) setiap umat Kristiani harus
berani menjadi “garam” dan “terang” melalui kesaksian hidupnya. Kesaksian itu
harus didasari oleh semangat nilai-nilai injili, yakni semangat cinta kasih,
hormat terhadap martabat manusia sebagai anak tercinta Allah, dan solidaritas
dengan orang-orang miskin dan lemah[4].
Melalui kesaksian hidup inilah, setiap umat Kristiani dapat ambil bagian dalam perutusan Yesus Kristus
mewartakan Injil Kerajaan Allah (bdk. Luk 4:18-19). Dengan demikian, kesaksian
hidup Kristiani ini menekankan di satu sisi, kesetiaan pada iman namun
di sisi lain, keterbukaan pada keberagaman yang merupakan realitas hidup
bersama.
Ketiga, membina
dialog positif dan konstruktif dengan umat beragama lain. Dialog merupakan
sesuatu yang mutlak dalam karya perutusan murid-murid Kristus. Iman dan
kesaksian hidup murid-murid Kristus hanya bisa diwujudkan dalam perjumpaan dan
dialog dengan sesama, terutama umat beragama lain. Dengan kata lain,
pelaksanaan perutusan “menjala manusia” harus bersifat dialogal. Artinya, dalam
usaha mewartakan Kristus kepada dunia, murid-murid Kristus harus berani membuka
diri pada penganut agama-agama lain untuk saling belajar dan memperkaya
diri tetapi sekaligus memperkenalkan Kristus lewat kesaksian hidup mereka (bdk.
DM 3; DP 9)[5].
Oleh karena itu, dalam keberagaman ini dituntut sikap kerendahan hati
untuk membuka diri[6]
dan toleransi positif atau bahkan beyond tolerance untuk saling
menghargai dan memperkaya identitas keyakinan masing-masing[7].
Dengan membina sikap seperti ini, cara pemaksaan dalam misi yang tidak berkenan
bagi Gereja dapat dihindarkan. Sebaliknya, melalui sikap ini, yang diutamakan
adalah karya Roh Kudus serta kebebasan manusia dalam menentukan pilihan
hidupnya termasuk keyakinannya.
Keempat,
membela dan memperjuangkan martabat manusia. Hal ini juga merupakan salah satu
perwujudan dari panggilan “menjala manusia” di tengah dunia. Melalui tindakan
ini, makna “menjala manusia” sebagai usaha membebaskan manusia dari kuasa maut
dan membawa pada kehidupan sungguh-sungguh dapat dirasakan. Dalam hal ini,
realitas maut harus dipahami secara luas, misalnya kemelaratan, kebodohan,
ketidakadilan, penindasan, perpecahan, tak adanya damai, dan sebagainya[8].
Oleh karena itu, membebaskan manusia dari kuasa maut dapat berarti membebaskan
manusia dari kemelaratan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya.
Tentang semua sikap dan tindakan perutusan “menjala
manusia”, Yesus telah memberikan teladan kepada para murid-Nya. Ia adalah utusan
Bapa untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah. Demi ketaatan dan kesetiaan-Nya
kepada Bapa, Ia telah mengosongkan Diri-Nya dan menjadi manusia, bahkan
menjadi manusia yang paling hina. Demi kesetiaan-Nya itu pula, Ia rela mati
secara hina, yakni disalibkan di Golgota. Kiranya melalui teladan Yesus ini,
terutama kesetiaan dan pengosongan Diri-Nya dalam mewartakan
Injil Kerajaan Allah, para murid Kristus (Gereja) mampu juga setia pada tugas
perutusannya sekaligus rendah hati membuka diri terhadap penganut agama lain.
Melalui kesetiaan dan keterbukaan itulah, Gereja mampu bersaksi menjadi “garam”
dan “terang” (menjadi saksi Kristus) di tengah dunia yang beragam ini.
Dengan demikian, berhadapan dengan umat beragama lain,
pelaksanaan perutusan Gereja harus sungguh-sungguh terpancar dari pengalaman
keyakinannya akan Yesus Kristus (inti dan kekhasan iman Kristiani) dan berani
belajar mengenal umat beragama lain dalam perjumpaan yang konkret (a
posteriori). Dalam perjumpaan itulah, Gereja akan mewartakan misi perutusannya
“menjala manusia” kepada dunia melalui sharing kekhasan pengalaman
imannya, kesaksian hidupnya, dialognya yang rendah hati kepada semua manusia,
terutama umat beragama lain, serta perjuangannya membela martabat manusia.
Kiranya melalui sikap dan tindakan “menjala manusia” seperti ini, panggilan itu
sungguh-sungguh dirasakan sebagai pembawa kehidupan dan keselamatan oleh setiap
manusia.
[1]
Menurut F. Magnis-Suseno, toleransi dalam arti sebenarnya sama sekali tidak
menuntut agar orang merelatifkan keyakinan-keyakinannya. Toleransi positif
bukan sekadar kesediaan untuk tidak menyusahkan, suatu sikap yang “membiarkan
saja” pihak lain secara merendahkan. Toleransi positif adalah lebih dari
sekadar tidak mengganggu, mengusir atau membunuh pihak lain meski mereka itu
berbeda. Toleransi positif adalah sesuatu yang lain. Toleransi positif dengan
senang dan gembira menerima bahwa setiap orang adalah dirinya sendiri,
menghormati kelompok-kelompok orang lain dalam identitas mereka, termasuk juga
keyakinan dan nilai-nilai mereka. Maka, toleransi justru tidak berarti
mengatakan bahwa kita pada hakikatnya sama pendapatnya. Toleransi yang benar
menuntut agar pihak lain diakui dalam keberlainannya. Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi
Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 9-10.
[2] Beyond tolerance merupakan suatu sikap
beragama yang melihat perbedaan-perbedaan antaragama sebagai peluang untuk
memperdalam komitmen atau kesetiaan iman pribadi kita dalam perjumpaan dengan
umat beragama lain. Dalam hal ini, kita tidak hanya mengakui secara jujur dan
apa adanya perbedaan antaragama tetapi sekaligus belajar dari perbedaan itu
untuk memperdalam iman kita. Bdk. J.L. Fredericks, Faith among Faiths:
Christian Theology and Non-Christian Religions, Paulist Press, New York
1999, 172.
[3]
J.L. Fredericks, Faith among Faiths: Christian Theology and Non-Christian
Religions, 169.
[4]
Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk,
113.
[7]
Bdk. F. Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, 9-10.
[8]
Bdk. A. Gianto, SJ., Dag-Dig-Dug….Byaar! Kumpulan Ulasan Injil, 153.
0 komentar:
Posting Komentar
terima kasih tuhan atas keingintahuan yang Engkau karuniakan kepadaku.